Cerita Dewasa - Kecantol Tukang Sayur S-2


Mimin Saranin baca Sesen 1 dulu selum membaca Sesen 2..


LIYA


Part 8 : Terselesaikan

"UMMI! UMI NGAPAIN!!???" Ucap putriku Tasha.

Aku dan Mang Dedi terlonjak, sama-sama kaget mendengar suara Tasha yang kencang memergoki kami yang baru saja memulai persetubuhan terlarang ini.

Aku dengan sekuat tenaga mendorong tubuh Mang Dedi dari atasku sehingga tusukan penisnya terlepas dari dalam vaginaku begitu saja.

"Ca--caca kok udah bangun?" Tanyaku bereaksi duluan mengambil baju gamisku yang berserakan di lantai.

Sungguh aku tergagap dan gemetar meski hanya dipergoki oleh anakku sendiri saat itu.

"Caca pengen pipis Umi" ucap Tasha mengusap matanya.

Dengan cepat aku kemudian menutupi tubuhku dengan baju gamis sambil merapikan hijabku yang tampak tak beraturan. Aku juga mengambil celana Mang Dedi dan menutup selangkangannya yang terbuka begitu saja di depan anakku.

"Yasudah.. kamu mau Umi anterin ke kamar mandi atau mau sendiri??" ucapku berusaha setenang mungkin.

"Mau dianterin Umi" Balas Tasha singkat.

Aku kemudian melirik Mang Dedi untuk memastikan dia tidak keberatan, "Anterin aja Dek" ucapnya tersenyum mempersilahkan.

Aku kemudian berencana memakai baju gamisku sebelum di tahan oleh Mang Dedi, "Gausah dipake bajunya" Ucap Mang Dedi mengelus pantatku.

Wajahku jadi memerah dan panas merasa sangat malu dibuatnya, namun aku tetap menuruti keinginan Mang Dedi entah karena alasan apa.

"Aku tinggal sebentar ya Mas!" Ucapku meminta ijin dan bangkit dari duduk.

Tapi kemudian Tasha bertanya, "Umi sama om kok buka baju??" Lanjutnya dengan polos.

Aku kebingungan, kualihkan pandanganku ke Mang Dedi dan meminta dia menjelaskan pada Tasha karena aku bingung menjelaskan tentang apa yang tengah kami lakukan.

Mang Dedi tersenyum, "Umi sama Om mau mandi sayang" balasnya dengan santai.

Namun bukannya puas dengan jawaban itu, Tasha malah kembali bertanya, "Kok Om mandi di rumah Caca?" Tanyanya lagi.

"Iya. Om mau mandi rumah Om tadi, tapi lagi hujan ga bisa pulang" Balas Mang Dedi menunjuk kearah jendela.

Tasha kemudian melihat keluar sebentar sebelum akhirnya dia mengangguk mengerti, "Yaudah, Om mandi di rumah Caca aja. Sini ikut!" Ajaknya pada Mang Dedi.

Mang Dedi lalu menggeleng, "Caca sama Umi duluan aja" jawab Mang Dedi menolak.

Aku kemudian menghela nafas lega melihat putriku tampak memang belum mengerti dengan apa yang tengah Uminya perbuat dengan laki-laki lain selain Abinya itu.

Lalu dengan pelan-pelan aku beranjak mengantar anakku tersebut ke kamar mandi sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdegub-degub dengan kencang.

"Umi. Caca suka sama Om itu" ucap Tasha tiba-tiba padaku.

Aku tersenyum, "Suka kenapa sayang?" Tanyaku padanya.

"Omnya mau bikinin adek buat Caca" jawab Tasha bersemangat.

"Oh ya?? Emang Omnya bilang begitu??" Tanyaku lagi.

Tasha lalu menangguk, "Iya.. katanya Om kesini mau bantuin Umi bikinin adek buat Caca" jawabnya polos.

"Ah masa sih" jawabku tak percaya.

"Kaget ya kamu?" Ucap Mang Dedi terkekeh datang di balik pintu memakai celana pendeknya tanpa baju.

Aku mendengus kesal, "Mas bilang sembarangan sama Caca" balasku mencubit tangannya dengan gemas.

"Beneran kok" balasnya cuek.

"Tapi kan itu gak bener Mas!!" Balasku menggerutu.

"Gak bener tapi kamu menikmatinya bukan??" Rayu Mang Dedi sekali lagi.

"Siapa bilang?" Ucapku berbohong membelakanginya.

Tapi kemudian Mang Dedi masuk ke kamar mandi dan mengalungkan tangannya di pinggangku, "Aku yang bilang" ucap Mang Dedi memelukku dari belakang.

"Mas ngapain sih! Ada Tasha!" Ucapku memprotes pelukannya takut dilihat anakku.

Dan benar saja, Tasha kemudian bertanya. "Om kok peluk Umi aku sih?" Tanya heran.



"Karena Om sayang sama Umi kamu" balas Mang Dedi dengan sangat santainya.

Seketika itu aku tersenyum, Ada perasaan senang hati yang juga bercampur nafsu birahi setiap kali Mang Dedi memperlakukanku dengan romantis dan penuh kasih sayang seperti ini.

Dia terlihat selalu sabar dan bisa memanfaatkan momen sehingga aku tetap terjebak dalam buain kata dan tingkah lakunya itu. Jauh berbeda dengan sifat suamiku yang selalu tergesa-gesa dan terburu-buru.

"Ah.. Mas banyak gombalnya" balasku mengalihkan kata-kata.

Dari belakang Mang Dedi berbisik di telingaku, "Kamu ga sayang sama aku?" Tanyanya menggoda.

"Engga.. aku sayang sama suamiku" balasku tidak sadar malah membawa-bawa suamiku di depannya.

Namun tampaknya Mang Dedi tak mempermasalahkan, "Oh iya aku lupa" balasnya sambil terkekeh.

"Tapi gapapa deh sayangnya sama suami, asalkan bercintanya sama aku" lanjutnya berkata nakal.

Entah bagaimana, aku justru malah merasa setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mang Dedi tersebut. Mungkin ini sebuah pembenaran saja, namun kata "tidak apa-apa aku bercinta dengan Mang Dedi asalkan hatiku masih menjadi milik suamiku" tersebut membuatku semakin terangsang saja.

"Om.. Caca mau tidur lagi nih" Ucap Tasha menghentikan momen kami sejenak.

"Yaudah Caca tidur gih. Om mau mandi dulu sama Umi" ucap Mang Dedi mengelus pelan kepala Tasha.

Tapi keingintahuan anakku itu tidak berhenti sampai disitu saja, "Kok mandinya barengan?" Tanyanya lagi.

"Iya. Biar mandinya bersih. Kamu kalau mandi pasti bareng Umi juga kan??" Ucap Mang Dedi mengakali Tasha.

Beruntung setelah itu, Tasha tak lagi mengeluarkan pertanyaan dari mulut kecilnya dan memilih pamit meninggalkan kami.

Mang Dedi tertawa melihat gadis kecilku itu dengan santainya melenggang menuju kamar tanpa sedikitpun curiga pada kami.

"Pinter banget kayak Uminya" ucap Mang Dedi mencolek daguku.

"Iyalah. Kan anak aku Mas" balasku berbangga diri.

"Tapi kasian dia gak punya temen main. Kita buatin adik buat Tasha gimana?" Goda Mang Dedi mencium pipiku.

Aku kemudian tertawa, "Bilang aja Mas pengen begituan" jawabku meledeknya.

"Biar sekali dayung, dua tiga pulau bisa terlampaui Dek Liya" balasnya berpepatah.

Aku kembali dibuat tertawa oleh lelucon khasnya tersebut. Kini rasanya aku benar-benar sudah nyaman berada dekat dengan Mang Dedi sehingga tak ada rasa canggung lagi untuk membalas candaannya.

"Kalau gitu kita pindah ke kamar aja Mas!" Ajakku dengan manja.

"Kamar yang mana?" Tanya Mang Dedi heran.

Aku kemudian menunjuk kamar belakang yang sebenarnya di peruntukkan untuk Tasha. Tapi karena anakku masih kecil, jadi dia masih tidur bersamaku dan suami sehingga kamar belakang itu masih kosong.

"Yang sebelah sana!" Ucapku menunjuk.

"Yaudah kalau gitu kamu pegangan yang kuat ya!!" Ucapnya tiba-tiba.

"Mas mau ngapain?" Tanyaku tidak begitu mengerti.

Tapi lalu aku terpekik kaget. Mang Dedi dengan cekatan membopong tubuhku bangkit. "Mas!" Ucapku refleks merangkul lehernya karena takut terjatuh.

Tubuhku terangkat mantap dalam bopongan tangan Mang Dedi yang melingkar dipunggung dan belakang lututku. Dengan santai Mang Dedi kemudian melangkah berjalan keluar kamar mabdi⁷ sambil menggendongku dengan gaya "Bridal Style" itu.

"Hati-hati Mas" ucapku yang sebenarnya merasa senang dan malu sekaligus.

Aku memejamkan mata, tubuh kami masih sama-sama dalam keadaan telanjang, namun Mang Dedi dengan cueknya berjalan membopongku dengan santai menuju kamar.

Saat-saat seperti inilah aku mulai merasa kalau aku memang benar-benar jatuh hati dengan perlakuan Mang Dedi sebagai laki-laki. Bahkan selama 6 tahun aku menikah dengan suamiku, tak sekalipun dia menggendongku dengan mesra seperti ini.


Jadi pantas saja setiap perlakuan mesra Mang Dedi padaku, selalu sukses membuat hatiku terasa seperti berbunga-bunga dan berdegub kencang.

"Sampai sayang" Ucap Mang Dedi mengecup bibirku.

Dia lalu dengan hati-hati menurunkanku dari bopongannya ke kasur kecil yang ada di dalam kamar tersebut sebelum akhirnya dia ikut memelukku jatuh.

Mang Dedi mengecup keningku, menciumi kulit mataku yang terpejam, juga pipi dan daguku, "Kamu milikku hari ini Dek Liya" Ucapnya membelai badanku.

Dalam pelukannya, gumpalan payudaraku mengganjal dan menempel di dadanya. Pun begitu dengan penis Mang Dedi yang juga mengganjal keras di perutku.

"Untuk hari ini doang?" tanyaku cemberut.

Mang Dedi lalu merenggangkan pelukannya, "Kalau bisa, aku mau selamanya" jawab Mang Dedi padaku. Ada nada keyakinan dan kesungguhan hati dalam bicaranya, juga tatapan mata dan mimik wajahnya yang begitu serius mengucap kata-kata itu.

"Tapi aku sudah jadi milik orang Mas" ucapku manarik diri.

"Iya aku tau sayang. Aku yang hina ini juga tak berhak mendapatkan kamu seutuhnya. Tapi izinkan aku memilikimu untuk sebentar saja, bolehkan??" Ucap Mang Dedi tersenyum.

Aku senang mendengarnya dan mengangguk, "Boleh Mas! Miliki aku hari ini!" Ucapku merapatkan badan pada Mang Dedi.

Setelah itu Mang Dedi meraih tanganku dan mengecupnya. Kami berbaring berpelukan sambil bercumbu dan berciuman hangat. Bahkan lebih hangat dan lebih menggebu dari sebelumnya.

"Mas.. Aku mau ini!!" ucapku menghentikan ciuman kami dan memegang penisnya.

Mang Dedi terheran, "Kamu mau ngapain sayang?" tanyanya padaku.

"Mau nyoba ngemut." balasku memberanikan diri.

Darahku berdesir mengucapkannya. Aku memang punya rasa penasaran ingin mengetahui bagaimana rasanya mengulum dan mencium kemaluan lelaki.

Tapi tadinya aku merasa jijik karena aku tak pernah melakukannya sebelum ini. Dan sekarang tiba-tiba saja rasa penasaranku muncul dan niat itu terlintas dalam benakku begitu saja.

"Kamu yakin Dek?" Tanya Mang Dedi ragu.

Aku lalu mengangguk dan segera beringsut ke bawah badan Mang Dedi yang terbaring di sampingku. Sejenak ku lepaskan celana pendek Mang Dedi perlahan-lahan sambil jantungku berdegub-degub dan pandanganku seperti dalam gerakan slow motion.

Setelah terbuka, penis besar Mang Dedi tampak mencuat keatas dan menegang. Ku remaskan tanganku pada batang penisnya yang tampak belum berdiri secara penuh sambil mempersiapkan jantungku yang berdegub dengan sangat kencang.

"Besar sekali." batinku dalam hati saat kurasakan penis besar itu semakin menegang di telapak tangan dan jariku.

Memegangnya saja sudah membuat vaginaku berdenyut dan puting susuku terasa gatal. Apalagi setelah baunya yang khas dengan aroma kelelakian itu menusuk ke dalam hidungku seiring aku mendekatkan wajahku ke selangkangan Mang Dedi.

"Dicium aja dulu" bisik Mang Dedi mengelus kepalaku yang terbungkus hijab.

Posisiku sekarang sudah diatas tubuh Mang Dedi yang masih terbaring di kasur, sedangkan kepalaku sedikit merunduk dibagian selangkangannya.

Aku menarik nafas sebentar, kumajukan mulutku mendekati ujung penis Mang Dedi yang tampak jauh berbeda dengan milik suamiku. Ujung penis Mang Dedi tampak tak memiliki kepala dan lucu seperti memakai sebuah kulup.

"CUPPP!" Ciuman pertama ku daratkan. Terasa hangat dan kenyal serta baunya yang begitu khas.

Kugenggam penis perkasa itu dan ku arahkan lagi pada mulutku. Tapi kali ini aku menjulurkan lidahku dan menjilat kulit yang ada di kepala penis itu. Aku kemudian mengikuti instingku dengan menjilat batang penis Mang Dedi dari atas ke bawah seperti sedang memakan ice cream.

"Oougghh.." Mang Dedi mendesah kegelian dibuatnya.

Aku semakin bersemangat mendengar desahannya tersebut. Kubuka mulutku sedikit sambil ku masukkan ujung penisnya. Ku jilat-jilat dan ku cium-ciumnya sebentar bagian atasnya sampai aku benar-benar terbiasa.



Lalu Aku masukkan penisnya ke dalam mulutku dengan pelan. Tapu rasanya cukup susah karena mulutku yang tipis dan mungil itu memang tak bisa menampung penis sebesar itu masuk ke dalam mulutku.

"Buka kulupnya sayang!" Pinta Mang Dedi padaku.

Aku bingung menatap ke arahnya, "Kulup apa Mas?" Tanyaku bingung.

Mang Dedi kemudian mengarahkan tanganku pada pangkal penisnya, "Tarik ke bawah coba" pintanya lagi.

Saat kuturuti kemauannya tersebut, kepala penis Mang Dedi tiba-tiba mencuat keluar dari balik kulup kulitnya. Kepalanya yang berbentuk jamur berwarna pink seperti milik suamiku ternyata tersembunyi dibalik kulup itu.

"Kok lucu sih Mas!" Ucapku tak dapat menahan rasa penasaran.

Saat kunaikkan kocokan tangaku, kepala penis Mang Dedi menghilang dibalik kulupnya. Sedangkan saat aku tarik kebawah, kepala itu kembali menyembul dengan begitu gagah.

Mang Dedi terkekeh sebentar, "Ini kontol orang yang gak sunat Dek! Dijamin rasanya bakalan lebih enak dari yang disunat" ucap Mang Dedi berbangga diri.

Aku kemudian teringat kalau Mang Dedi adalah seorang non muslim. Jadi wajar saja kalau dia belum disunat seperti suamiku.

"Ayo diemut lagi sayang!" Pinta Mang Dedi sedikit tak sabar mengangkat pinggulnya ke atas dan kedua tangannya menekan kepalaku ke bawah.

Perlahan-lahan, penis itupun masuk menyusup ke dalam rongga mulutku dengan agak mudah karena kepalanya yang lonjong dan licin.

Aku sedikit gelagapan, penis besar itu hanya mampu masuk sepertiganya saja dan terlalu penuh di mulutku. Bahkan aku reflek sekuat tenaga menahan agar gigiku tak sampai menyentuh batangnya.

"Oougghh... mulutmu hangat Dek Liya" racau Mang Dedi memegangi kepalaku.

Dorongan nafsu dan naluri birahiku kemudian menuntunku untuk bergerak secara sendirinya. Aku mulai menghisap batang penis Mang Dedi yang berada dalam mulutku sambil tanganku memegangi pangkal batang itu agar kepala jamurnya tidak bersembunyi.

"Ohh iyaahh... begitu sayangg" ucap Mang Dedi tak behenti-henti meracau.

Penis Mang Dedipun semakin lama semakin terasa membesar hingga membuat mulutku penuh sesak dan nafasku tersengal-sengal. Aku pun tak mau kalah mulai lincah mengocoknya dengan menaik-turunkan mulutku mengulum batang penis itu sampai mengkilat oleh air liurku sendiri.

Tadinya aku berpikir kalau mengulum dan menjilati alat kemaluan tersebut adalah sesuatu hal yang menjijikkan. Namun setelah aku merasakannya sendiri, aku jadi tau kalau ada sebuah sensasi lain yang memacu birahiku lebih cepat.

Aku mengulum penisnya lebih dalam lagi, beberapa kali aku hampir tersedak dan melepas kulumanku. Namun rintihan dan desahan yang dikeluarkan oleh mulut Mang Dedi membuatku semakin bertambah semangat untuk melayaninya dengan mulutku. Sedangkan Mang Dedi hanya bisa meracau meremas kepalaku dan mengacak-ngacak hijab yang tengah ku pakai.

"Ssshhh... pinterr kamuu Dek Liyaah...Jago nyepong kamuuhh" erang Mang Dedi keenakan.

Kumainkan lidahku menjilati kepala jamur Mang Dedi yang membongkong itu sampai aku sendiri tak tahan karena liang vaginaku berdenyut menginginkan penis itu segera bersarang disana.

Karena itu, kulepaskan kulumanku, dan aku bangkit berdiri. "Mas pengen" rengekku manja menjatuhkan badanku diatasnya.

Mang Dedi tersenyum menggulingkan badanku hingga kami bertukar posisi, "Maaf ya Sayang.. aku jadi keenakan" Ucap Mang Dedi mencium bibirku.

Mang Dedi langsung menyambar wajahku dengan ciuman liarnya. Lalu dikecupnya bibirku dan dipagutnya dalam-dalam.

Mulutku bahkan terasa megap-megap dalam pagutan Mang Dedi itu dan menjadikan gairah kami sama-sama naik semakin bergelora.

Kubalas pagutan Mang Dedi dengan bibir dan mulutku tanpa rasa ragu atau sungkan. Sudah tak kupedulikan lagi siapa kami, apa status dan hubungan kami. Yang kurasakan saat itu kami hanyalah sepasang insan yang dikuasai nafsu birahi.



"Oohhh... Mmmmpp... Maashhhh.." lirihku disela-sela ciuman kami.

Kuraih dan kugenggam penis besar Mang Dedi dan mengocoknya dengan tanganku. Benda itu sudah basah dan licin oleh air liurku sendiri sehingga kocokanku begitu lancar dan enak.

Beberapa menit berikutnya kami masih saling cumbu dan saling membelai sebelum akhirnya Mang Dedi membuka kedua pahaku.

Dan inilah saat-saat yang paling kunantikan. Aku sudah sangat menginginkan penis besar yang tadi belum sempat masuk seutuhnya itu kembali bersarang di dalam vaginaku.

Namun setelah kedua pahaku terbuka lebar dan liang vaginaku siap dimasuki sodokan penis besar itu. Mang Dedi justru malah merundukkan kepalanya menuju selangkanganku dan dengan liarnya dia menjilat bibir vaginaku secara tiba-tiba.

"Oghhhhhhh ............ ouhhhhhhh...." rintihku terkaget merasa seperti ada aliran listrik yang menyengatku.

Aku kaget dan tak siap menerima serbuan kenikmatan yang tiba-tiba dan datang secara beruntun itu. Jilatan lidah Mang Dedi di liang vaginaku itu sukses membuat badanku belingsatan, tubuhku menggelinjang, dan aku mengalami rasa enak yang bertubi-tubi.

"Maashhh... Apaahh.. inii.. Enaakkk.. sekaliihhh"

Bibir dan mulutku bergumam lirih, tubuh bugilku terbaring telentang dan pasrah, di bawah sana Mang Dedi dengan rakusnya menghisap-hisap liang vaginaku dan menjilatinya.

Rasa geli tapi nikmat menjalari sekujur tubuhku. Menambah nafsu birahiku yang sudah semakin menggebu saja.

"Ughhhhhh ..... ohhhhhhh ...... " mulutku melenguh dan bibirku mendesah panjang, mataku bahkan ikut merem-melek dibuatnya

Belum pernah aku merasakan vaginaku dan dihisap-hisap seperti ini. Ini adalah pertama kali dan sepertinya aku benar-benar akan menyukainya.

Bahkan saking enaknya, aku dapat mendengar bunyi ciuman dan hisapan Mang Dedi di vaginaku yang sudah sangat basah dan banjir oleh cairan pelumasnya.

"Kclokkk... mplokkk...mpppuuahhh...mmpaahh" begitulah sekiranya bunyi vaginaku yang disedot dan dicium oleh Mang Dedi.

Aku semakin melayang, mataku sangat sayu dan berat. Sampai akhirnya kurasakan desakan kenikmatan itu perlahan-lahan terasa berkumpul dititik pinggangku dan memuncak berdenyut-denyut kencang di area vaginaku.

Ada rasa seperti ingin pipis yang tak dapat kutahan saat badanku semakin bergetar dan liang vaginku semakin gatal. Aku berusaha sekuat tenaga menahannya.

Namun semakin gelinya ciuman Mang Dedi di vaginaku malah semakin membuat rasa kencing itu makin memuncak.

Hingga akhirnya, "MASHHH!! AWASS! AKKUU KENCIINGGG!!" Ucapku mendorong kepala Mang Dedi dan menjauhkan badanku.

Namun telat, vaginaku telah berdenyut luar biasa sambil menembakkan air yang begitu banyak seperti sebuah tanggul yang jebol.

Disaat itulah. Kurasakan puncak kenikmatan yang begitu luar biasa, rasa nikmat yang belum pernah kurasakan pada Liang vaginaku sebelumnya.

Kemaluanku itu terasa berdenyut-denyut hangat. Bahkan aku sampai terkencing-kencing dan kejang-kejang saat itu juga, Pinggangku terasa sangat ngilu dan tulang-tulangku terasa ikut terlolosi dari tempatnya.

Mataku ikut merem melek, bibirku sengaja ku gigit untuk meredam rasa nikmat itu dan tanganku sekuat tenaga menggenggam kain sprei kasur di sampingku.

"Gila!!" Ucap Mang Dedi menatap tak percaya padaku.

Namun tak kupedulikan tatapannya tersebut karena aku tengah berada diatas awang-awang yang begitu nikmat. Rasanya semua beban yang selama ini tertahan setiap kali ku bercinta dengan suamiku lepas begitu saja oleh mulut Mang Dedi.

"Enak sayang?" Tanya Mang Dedi merayap keatas tubuhku dan meremas payudaraku.

"Jangan pegang Mas!! Ngiluu!!" Protesku yang merasakan puting payudaraku sangat sensitif.

"Kamu belum pernah orgasme ya?" Tanya Mang Dedi setengah berbisik.

Dalam keadaan masih tersengal-sengal itu aku menatapnya pelan, "A--apa itu orgasme Mas?" Tanyaku dengan nafas yang tak beraturan.

"Ini barusan yang kamu rasakan sayang" ucap Mang Dedi mencolek vaginaku.



Aku terperanjat, "Awwhhhh.. ngilu Mass" ucapku padanya.

Mang Dedi lalu terkekeh menciumi keningku dengan begitu hangat, "Ini namanya orgasme sayang, puncak nikmat dari segala kenikmatan bercinta" jawab Mang Dedi menjelaskan.

"Ini yang harusnya kamu dapatkan ketika kamu bercinta, baik untuk perempuan maupun laki-laki" lanjutnya lagi.

Dari penjelasannya itu barulah aku mengerti apa yang dulu Mang Dedi katakan padaku. Bahwa pasangan dalam bercinta itu harus merasa sama-sama puas antara lelaki dan wanita. Bukan salah satu pihak seperti yang aku ketahui selama ini.

"Enak banget Mas, Orgasme" ucapku merasa senang.

"Iya dong.. orang kalau belum pernah orgasme gak bakalan tau nikmatnya bercinta itu kayak apa Dek Liya" jawabnya lagi.

"Tapi kan kita belum melakukannya Mas" ucapku malu-malu.

Mang Dedi terkekeh sebentar lalu beranjak memeluk tubuhku, "Untungnya kita bisa merasakan nikmat itu berulang-ulang kali Dek Liya" ucapnya mencium bibirku.

Bibir kami kemudian saling memagut lembut, rasanya begitu enak dan menghipnotis alam bawah sadarku untuk kembali mengangkat birahiku yang tadi sudah hilang menemui puncaknya.

Kulit tubuhku lagi-lagi merinding oleh sensasi rasa yang sukar kugambarkan dengan kata-kata. Aku menggelinjangkan badanku saat Mang Dedi meraba kembali bagian selangkanganku dengan tangannya.

Kurasakan tubuhnya semakin merapat ke badanku. Dan ciumannya juga sesekali berpindah pada bagian pipi, dagu, dan leherku yang tertutup oleh hijab yang anehnya tak mau aku lepaskan.

Dalam sekejap saja, nafsuku kemudian bangkit kembali setelah dirangsang sebentar oleh mulut dan tangan Mang Dedi.

"Sshhh... aahhhh..." desahanku kembali terdengar. Tubuhku lagi-lagi merasakan panas yang membuat butir-butir keringat membasahi jidatku.

"Dek Liya sudah basah lagi??" Ucap Mang Dedi berbisik di telingaku.

Dia terus bergerak ke bawah menciumi buah dadaku. Sedangkan aku hanya bisa diam saja merasakan perlahan getaran birahi itu mulai menguasai badanku sekali lagi. Batang penis Mang Dedi juga terasa mengganjal di bawah sana. Aku ingin menyentuhnya tapi tanganku lemas lunglai.

Sesaat kemudian. Mang Dedi semakin beranjak ke bawah hingga sampai pada area selangkanganku. Dengan tangannya, dia memegang kedua lututku dan melebarkan bukaan kedua pahaku.

Mang Dedi memposisikan badannya sejajar dengan badanku sambil mengusap-usapkan ujung penisnya di liang vaginaku. Terasa usapan itu begitu licin oleh cairan pelumas alami yang keluar semakin banyak dari liang vaginaku.

Sudah tak kupedulikan lagi dosa yang akan ku lanjutkan ini, aku hanya terbaring pasrah menanti apa yang akan dilakukan Mang Dedi terhadapaku.

"Tahan ya sayang. Aku masukin" ucap Mang Dedi bergetar.

Lalu pelan-pelan kurasakan kepala penisnya itu menyusup hangat di bibir vaginaku. Ada rasa nyeri dan sedikit perih yang lagi-lagi ku rasakan saat penis besar Mang Dedi itu menyusup masuk dalam vaginaku.

Wajahku meringis, Kedua tanganku berusaha menahan gerakan Mang Dedi yang masih memajukan pinggul memasukkan batang penisnya.

"Masih sakit sayang?" Tanyanya khawatir.

Aku mengangguk, "Pelan-pelan saja Mas!" Pintaku padanya.

Kemudian dia balas mengangguk sambil bergerak pelan menekan pinggul dan pantatnya semakin dalam.

Seinci demi seinci batang penis Mang Dedipun mulai terasa menguak liang vaginaku yang sempit itu dan membuka jalan yang lebar untuk dimasuki. Rasanya liang vaginaku penuh sesak dan gesekan penis itu membuat dinding liang vaginaku terasa agak perih dan ngilu.

"Sempit banget punyamu sayang.. udah kayak perawan" Ucap Mang Dedi mengecup keningku.

Terasa tangannya juga ikut memijat-mijat buah dadaku pelan sehingga Aku hanyut kembali dalam cumbuan dan remasannya.



Aku dengan cepat lupa dengan rasa sakit di vaginaku, bahkan rasa perih dan ngilu yang tadi kurasakan pun sudah menghilang dan terlupakan begitu saja, berganti dengan gelora gairah yang kurasakan mendesak-desak mencari penyaluran.

"Tahan sedikit lagi ya" ucap Mang Dedi disela pagutannya. Telapak tangan kanannya dengan mesra mengelus dan mendekap pipiku.

Aku mengangguk. Merasa nyaman dan rileks dengan perlakuan romantisnya tersebut. Lalu dia mendorong pinggulnya sedikit demi sedikit dengan hati-hati dan penuh perhatian.

Sambil terus mencumbui bibirku dan meremas payudaraku, batang penisnya yang besar itupun melesak masuk masuk menembus liang vaginaku seutuhnya.

"Oooouuuuugggggghhhhh...." lirihku panjang.

Mataku memejam rapat, ada rasa nyeri bercampur nikmat, saat kurasakan liang vaginaku begitu penuh dan sesak dimasuki penis berukuran jumbo milik Mang Dedi.

Akan tetapi dengan pintarnya Mang Dedi mengalihkan rasa sakitku dengan deraan rasa nikmat yang bertubi-tubi.

Dia menggerayangi badanku. Perut, paha dan buah dadaku, semuanya tak luput dari belaiannya. Juga ciumannya yang penuh nafsu di bibirku. Sehingga menyalakan gairahku dengan sangat cepat.

"Aghhhh.... Maasshhh" desahku lagi.

Kupeluk badan Mang Dedi dengan erat, kubelai punggungnya yang kekar itu, kubuka kedua pahaku lebar-lebar menerima tusakan batang penisnya.

Aku terpejam-pejam. Mulutku ternganga merasakan kenikmatan yang begitu hebat saat Mang Dedi mulai mengayunkan kocokan penisnya. Terasa liang vaginaku kembang kempis seperti menghisap-hisap penis Mang Dedi semakin ke dalam.

Entah karena aku sudah beberapa hari tak bersenggama atau mungkin karena penis Mang Dedi yang lebih besar dan lebih panjang dari punya suamiku. Aku begitu cepat merasakan vaginaku semakin becek dan semakin lancar menerima penis besar itu.

Sekujur badanku berkeringat, butir-butir peluh memercik dan meleleh dari wajah, leher dan sekujur tubuhku. Sedangkan Mang Dedi sepertinya baru saja berada di puncak nafsunya.

"Ougghh mantepp" racau nya yang mulai semangat
mengayun dan mengocokkan penisnya, semakin lama semakin cepat.

Nafas Mang Dedi juga semakin memburu, ia menciumi tubuh atasku penuh nafsu. Bibirnya mengerang-ngerang, dan penisnya menyodok-nyodok liang vaginaku.

Ayunan-ayunan tubuh Mang Dedi membuat badanku ikut berguncang-guncang secara berirama mengikuti kocokan dan sodokan penisnya. Gumpalan payudaraku bergerak bergoyang-goyang sambil sesekali dicucupi Mang Dedi bergantian.

Aku semakin blingsatan. Entah setan apa yang memasuki saat itu sehingga nafsuku sangat menggebu-gebu tak dapat ku hentikan.

"Masshh... puasiinn akuu Mass..." bisikku berbisik pada telinganya.

Mang Dedi lalu menggenjotkan penisnya agak cepat dan lebih dalam lagi menyodok liang vaginaku setelah mendengar permintaanku tersebut.

Aku melenguh lirih, Sungguh enak dan tak kubayangkan sebelumnya kalau kenikmatan yang aku rasakan dapat berkali-kali lipat dari apa yang pernah kudapatkan dari suamiku.

Bahkan setiap gesekan penis besar itu di dinding vaginaku membuat mulutku mengerang dan mendesah-desah keenakan.

"Ouhhh ..... ahhhh ..... Oghh .....Maashh...“ desahku tak karuan.

Kudengar sesekali mulut Mang Dedi juga ikut melenguh sambil dia menatapku dengan tatapan yang penuh gairah.

"Enak banget Dek Liya.. Ohhh .." ucapnya.

Lalu dipagutnya bibirku dengan hangat sambil pinggulnya tak berhenti mengayun menggenjot tubuh bawahku. Kubalas pagutan bibirnya itu dengan tak kalah bernafsu karena aku mulai merasakan kembali tanda-tanda puncak kenikmatan itu membayang.

"Mas....ohhh...Massss ..... " desisku di telinga Mang Dedi.

"Iyah.. kenapa..sayang ..... ??" bisik Mang Dedi dengan napas tersengal-sengal.

Kedua jemari tangan kami saling mencengkram erat. Kelamin kami saling tertaut lekat, juga badan kami semakin menyatu rapat. Nafas kami sudah terengah-engah dalam gelora nafsu dan gelombang rasa nikmat tiada tara itu.



"Keluarkan di dalam ya, Mas, aku ingin hamill" bisikku lagi, kuciumi leher dan pipi Mang Dedi.

Entah apa yang aku pikirkan, tapi saat itu aku merasa sangat menginginkan Mang Dedi untuk menyemburkan spermanya dalam vaginaku dan membuahiku saat itu juga.

Mungkin aku sudah sedikit gila karena menginginkan pria lain menghamiliku. Tapi saat semakin aku membayangkannya, semakin aku menginginkannya juga.

"Kamu benar-benar mau sayang?" Ucap Mang Dedi terus menggenjotku dengan begitu kuatnya. Tubuhnya tersentak-sentak dan berguncang kuat karena bergoyang menusuk tubuhku dengan semakin liar dan binal.

"Ya Mas...lakukanlah Mas.... hamili akuu" ucapku meyakinkannya. Dadaku berdegup tidak karuan dan nafsuku dengan cepat semakin memuncak.

Mang Dedi juga mempercepat genjotan penisnya memompa vaginaku, Nafasnya makin memburu pertanda dia juga mulai merasakan puncaknya. Terasa penisnya makin dalam menyodok liang vaginaku seperti menggila menggenjotku sekuat-kuatnya.

Dalam genjotannya tersebut. Akhirnya akupun kembali merasakan liang vaginaku menyempit penuh sesak dan ngilu berkepanjangan. Aku dengan kuatnya mencakar punggung Mang Dedi sambil menggigit pundaknya saat puncak kenikmatan itu melandaku sekali lagi.

"MASHH... AKU ORGASMEEHH..." teriakku dengan begitu kencang.

Kurasakan liang vaginaku membasah bersamaan dengan memuncaknya rasa enak yang tak dapat kugambarkan itu. Badanku serasa melayang-layang terbawa angin. Aku larut dan tenggelam dalam puncak kenikmatan badai orgasmeku yang menghantam tubuhku untuk kedua kalinya.

Liang vaginaku terasa berkedut dan tak berhenti berdenyut menjepit-jepit batang penis Mang Dedi.

"Oougghh.. aku juga mau keluar sayang" ucap Mang Dedi semakin bersemangat.

Dia lalu meraih wajahku dengan sebelah tangan dan mengangkatnya, aku menoleh dan mendongak ke arah Mang Dedi dengan mulut ternganga merasakan sensasi nikmat itu, ia merundukan lehernya dan wajahnya mendekat ke wajahku, mulut Mang Dedi menyambar mulutku, dihisapnya lidahku dalam-dalam.

"Ouugghhh.. aku keluar sayang" teriaknya melenguh geram.

Pada genjotan terakhirnya. Nafas Mang Dedi mendengus kuat, mulutnya masih menghisap lidahku, batang penisnya dia benamkan dalam-dalam dan terasa berdenyut kencang berkedut-kedut mengeluarkan semburan-semburan cairan hangat yang berisi milyaran sel pembawa kehidupan baru itu.

"CROOOTTTTT!!!! CROOOTTTT!!! CROOTTTT!!!!! CROOTTT!! CROOTTT!!"



Bagian 9 : Terharu


Hujan sore itu sudah reda saat aku mengantarkan Mang Dedi keluar dari rumahku menuju motornya. Kami berjalan bergandengan tangan menyusuri teras rumah layaknya pesangan kekasih yang tengah dimabuk asmara.

Sebenarnya ada sedikit perasaan kecewa, karena sudah saatnya kami kembali pada realita kami masing-masing. Mang Dedi kembali menjadi penjual sayur langgananku, dan akupun kembali menjadi seorang istri yang berlangganan di dagangannya.

“Aku pulang dulu Dik!” Ucap Mang Dedi naik ke atas motornya.

Badanku sebenarnya masih lemas, vaginaku pun masih terasa berdenyut-denyut dan ngilu ketika aku berjalan. Namun aku tak rela melepas kepergian Mang Dedi begitu saja. Aku masih ingin berlama-lama dengannya, masih ingin memadu kasih sampai batas waktu yang tak bisa ku tentukan.

Tapi aku menahan diri untuk tidak memberitahunya, “Hati-hati Mas!” balasku tersenyum.

Mang Dedi lalu mengangguk pelan, kemudian dia memelukku dan memberikan kecupannya pada bibirku. Untuk sebentar, aku membalas ciumannya tersebut sehingga kami saling pagut memagut bibir di depan rumahku tanpa sedikitpun khawatir dengan keadaan sekitar.

“Sudah Mas! Nanti diliat orang..” Ucapku menjauhkan badan.

Mang Dedi lalu mengangguk mengerti, “Lain kali aku mampir lagi Dek Liya” ucapnya tersenyum menyalakan motor dan kemudian berlalu menghilang dari pandanganku.

Setelah Mang Dedi pergi, kulangkahkan kakiku masuk kembali ke dalam kamar. Kulihat anakku Tasha masih tertidur dengan pulas dan kurebahkan badanku di sampingnya. Aku kemudian termenung menatap langit-langit kamarku dengan perasaan lelah namun puas disaat yang bersamaan.

“Maafkan Umi, Abi..” Ucapku merasa bersalah, tak kuasa membela diriku sendiri saat kulihat suamiku menatap tersenyum dari dalam foto yang menggantung di dinding kamar.

Tapi perasaan bersalah itu tak bertahan lama, karena aku dengan segenap hati meyakinkan diriku bahwa ini juga merupakan kesalahan suamiku yang selama ini tak pernah membuatku puas dalam hal bercinta. Jangankan untuk puas, tau bahwa wanita bisa orgasme saja tidak.

Aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak membuat perbandingan antara suamiku dan Mang Dedi. Mulai dari tutur kata, perlakuan hingga caranya, Mang Dedi memang jauh lebih unggul dibandingkan dengan suamiku.

Bahkan sampai saat ini saja, masih dapat ku rasakan setiap rasa yang tersisa dalam tubuhku setelah persetubuhan terlarangku dengan Mang Dedi itu. Masihku bayangkan bagaimana perkasanya tukang sayur itu menggagahiku sehingga dapat membuatku terbang ke puncak kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Masih pula aku merasakan bagaimana cumbuan dan pelukannya yang begitu hangat itu membalut tubuh ranumku yang kesepian ini.

“Lain kali aku mampir lagi Dek Liya..” Kata Mang Dedi tiba-tiba saja terputar dalam benakku.

Aku mengulum senyum, seperti orang gila berguling-guling diatas kasur dengan jantung yang berdebar-debar terus mengingat wajah dan perkataan Mang Dedi itu. Senyum terus terpancar di bibirku hingga membuat rahangku lelah membayangkan kalau hubungan terlarang kami masih akan berlanjut.

“Ada yang lagi seneng nih kayaknya.” kaget suara suamiku yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.

Aku langsung terduduk membenarkan ekspresiku, “Eh, Abi kapan pulang??” tanyaku tergagap.

“Baru aja nih” balasnya masuk ke dalam kamar dan membuka baju. “Oh iya, Abi bawa sesuatu buat Umi” lanjutnya meraih kantong celananya.

Suamiku tersebut lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang berbentuk seperti kotak perhiasan, “Apaan tuh Bi??” tanyaku penasaran.

“Supriiseeeeeeee!!!” teriak suamiku membuka kotak kecil itu. Didalamnya kulihat ada sebuah cincin emas yang ukurannya lebih besar dari cincin pernikahanku.

Aku terlonjak kaget, antara senang dan sedikit bersalah, “Buat Umi?” tanyaku ragu.

“Woiya dong. Masak buat cewe lain” balas suamiku dengan sangat senang.



Tiba-tiba saja, air mataku menetes dengan sendirinya. Satu persatu bulir-bulir air mata itu turun dalam kumpulan rasa bersalah yang menyesaki dadaku. Lengkap dengan pemikiran bahwa aku telah begitu jahat mengkhianati pria sebaik suamiku ini.

“Loh?? looh?? kok Umi nangis??” tanya suamiku bingung.

Aku tak menjawab dan terus menangis. Seolah sedang menyesali perbuatan yang sebenarnya secara sadar aku lakukan dan benarkan. Tapi melihat bagaimana wajah lelah suamiku itu tersenyum tanpa tau sedikitpun aku telah mengkhianatinya, membuat hatiku seperti terisis perlahan-lahan.

Aku kemudian memeluk tubuh suamiku dengan erat, “Maafin Umi, Bi!! Maafin Umi belum jadi istri yang baik buat Abi..” Ucapku menangis tersedu-sedu.

“Umi sudah jadi yang terbaik buat Abi kok!! Abi gak akan minta lebih” balas suamiku mengelus kepalaku.

Segera saja setelah itu ku hamburkan badanku pada tubuh suamiku dan langsung kuciumi bibirnya. Suamiku terlihat kaget dengan serangan ku tersebut namun dia tampak senang dengan caraku menciumnya. Segala perasaan bersalah dalam hatikupun, aku coba tuangkan dalam pagutanku seolah ingin menghilangkannya.

Tapi semakin dalam ciumanku pada suamiku tersebut, semakin perih rasanya hatiku ketika teringat bahwa bibirku ini tak lagi suci untuknya. Bibir mungilku ini telah dikotori oleh bibir pria lain selain dirinya yang bahkan belum sempat aku cuci dan bersihkan.

“Maafkan aku Bi!” batinku terus memagut suamiku.

Aneh rasanya aku malah tiba-tiba bernafsu dan menggebu. Membayangkan bagaimana tadinya aku menggunakan bibir yang sama ketika melayani tukang sayur langgananku tadi. Walau rasanya aku seperti menghinakan suamiku sendiri, namun justru ada sebuah dorongan batin yang membuatku semakin ingin melanjutkannya.

“Umi udah mandi??” tanya suamiku menghentikan ciuman kami.

Aku lalu menggeleng membalasnya, “Belum Bi!” jawabku singkat.

“Mandi bareng yuk!” ajak suamiku girang.

Jantungku tiba-tiba berdegub tidak karuan, aku teringat dan takut kalau tubuhku masih menyisakan bekas-bekas ciuman Mang Dedi yang pasti akan dilihat oleh suamiku jika kami mandi bersama, “Abi mandi sendiri aja gih!” kataku menolak.

“Loh?? kok gitu?? Ayolah Mi!! kita gak pernah mandi bareng loh..” bujuk suamiku masih bersemangat.

Aku menjadi sangat bimbang dibuatnya. Kalaupun ingin menolak, aku harus menolak dengan alasan yang cukup kuat. Sementara aku juga sedikit kasihan menolak ajakan suamiku tersebut karena aku sendiri yang membangkitkan gairah bercintanya.

“Kalau gitu Umi duluan masuk ke kamar mandi ya.. nanti Abi nyusul!!” Ucapku menemukan sebuah solusi. Aku akan melihat dulu keadaan badanku sebelum memutuskan untuk mandi bersama suamiku atau tidak.

“Kok gitu Mi??” tanya suamiku heran.

Aku kemudian berdiri dan menggodanya, “Mau mandi bareng apa enggak??” tanyaku padanya.

“Mau... mauu...” jawab suamiku mengangguk-angguk girang menerima persyaratanku.

Aku kemudian meraih handuk yang menggantung di bagian belakang pintu kamarku dan berjalan menuju kamar mandi sambil menghela nafas dalam-dalam. Setibanya disana, aku dengan secepat kilat melucuti baju gamis, hijab dan pakaian dalamku sehingga tubuhku benar-benar telanjang.

Dari pantulan cermin yang ada di kamar mandi, aku mencoba mematut seluruh bagian badanku untuk melihat apakah ada bekas ciuman ataupun gigitan Mang Dedi disana. Beruntung setelah aku berputar-putar melihatnya, hanya ada beberapa bekas merah pada bagian dadaku yang terlihat seperti bekas gigitan nyamuk.

“Aman!!” batinku menghela nafas lega.

Setelah itu, kunyalakan keran shower air hangat untuk mengguyur tubuhku sebentar sambil menghilangkan degub jantungku yang seperti ingin meloncat keluar. Selang beberapa menit kemudian, badanku pun akhirnya rileks dibawah kucuran air yang membuat nyaman itu.



“Umi curang!” Ucap suamiku yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi.

Reflek saja aku tiba-tiba menutup bagian dadaku takut bekas merah cumbuan Mang Dedi masih terlihat, “A--abi main masuk aja!!” protesku padanya.

“Loh? Umi kenapa coba?? Abi udah pernah liat semua masih aja ditutupin segala” balasnya mendekatiku.

“U--umi kan kaget Bi!” balasku masih tergugup.

Dalam kucuran air hangat yang mengguyur badan kami berdua itu, suamiku kemudian memeluk tubuhku dari belakang dan langsung menciumi leherku. Aku cukup dibuat kaget dengan serangannya tersebut karena suamiku sebelumnya tidak pernah melakukannya.

“Umi seksi banget..” bisik suamiku memuji.

Ada sedikit perbedaan dari sikap suamiku saat dia meraba pinggang dan punggungku. Biasanya jika dia ingin bercinta, dia tidak akan membuang-buang waktu untuk mencium dan merabatubuhku. Namun kali ini, suamiku tampak sabar sehingga akupun perlahan-lahan hanyut dan badanku jadi berdesir mulai merasakan gairah.

“Bihh..” desahku lirih.

Aku sedikit menggelinjang saat tangan suamiku mulai menyentuh kedua payudaraku dengan pelan. Kupejamkan mataku menikmati sensasi nikmat yang dialirkan dari puting payudaraku ke seluruh bagian syaraf yang ada di tubuhku. Hatiku tiba-tiba menjadi senang, jarang-jarang diperlakukan selembut ini oleh suamiku.

Air hangat terus mengguyur tubuhku yang semakin rapat dengan badan suamiku. Dapat ku rasakan dibagian pinggulku penis miliknya sudah menegang menekan-nekan dengan kuat bongkahan daging kenyal pantatku.

Tak sampai disana saja, kedua tangan suamiku kini bergerak ke bawah perlahan-lahan merabai bagian paha dan selangkanganku. Beberapa kali pula rabaannya tersebut singgah dengan lembut di bagian vaginaku.

“Disanahh Bi!!” pintaku lirih menahan tangannya di vaginaku.

Seolah mengerti, tangan kanan suamiku akhirnya bergerak nakal menggosok-gosok pelan bibir vaginaku yang basah oleh air hangat, sedangkan tangan kirinya aktif menelusuri bagian perut dan payudaraku.

“Uhhh... eemmmhhhh” lenguhku tertahan.

Dari belakang suamiku menciumi pundakku dengan kecupan-kecupan pelan yang terkadang berubah liar menjadi hisapan-hisapan dan gigitan kecil ke bagian punggungku. Aku menjadi terheran-heran dengan perubahan sikap suamiku tersebut. Begitu penasaran dimana dia mempelajarinya.

“Abiihh.. koookk enakk sihh???” lenguhku manja membalikkan badanku menghadapnya.

Seketika suamiku langsung menyambar wajahku dengan ciuman liarnya bertubi-tubi. Aku bahkan sampai megap-megap kehabisan nafas diantara guyuran air hangat dan ciumannya. Gairahku menjadi sangat bergejolak naik hingga ku balas pagutan suamiku dengan bibir dan mulutku tak kalah ganasnya.

Tak mau kalah dengan perlakuan suamiku tersebut, aku pun kemudian menunjukkan kemampuan baruku dengan meraba-raba bagian tubuh suamiku dengan tangan. Jemariku menyentuh penisnya yang menegang sambil sedikit memberi pijatan-pijatan ringan di batangnya.

“Ouughh.. Mihh!!” giliran suamiku yang melenguh nikmat.

Sekilas aku teringat dengan adegan percintaanku bersama Mang Dedi dimana aku dengan beraninya mengulum penis pria penjual sayur itu dengan mulutku. Rasanya aku ingin memberikan hal yang sama pada suamiku agar keadaan menjadi imbang antara mereka dan tak ada perasaan bersalah dalam hatiku.

Dengan secepat kilat aku kemudian melepaskan ciumanku pada bibir suamiku dan langsung bertekuk lutut di hadapan selangkangannya.

“U—umi?” suamiku terheran.

Belum sempat dia mencerna apa yang akan aku lakukan, aku langsung menyambar dan menggenggam penisnya lalu ku kocok dengan pelan-pelan sambil kuciumi kepala batangnya.

“Ouughhh..” Badan suamiku menggelinjang dan mulutnya mengerang.

Aku mendongakkan wajahku ke atas melihat ekspresi suamiku yang merem melek keenakan. Kubuka mulutku dengan lebar dan kuarahkan penis suamiku tersebut ke dalam kulumanku hingga semuanya amblas tak bersisa.

“Ouuhh gilaa.. Umiiihh!” racau suamiku memegangi rambutku.

Karena ukuran penis suamiku yang kecil, aku dengan begitu mudah mengulum penisnya lebih dalam dan dengan bebas menggerakkan lidahku bermain-main diseluruh batangnya.



Suamiku dengan sangat bernafsu ikut menggenjotkan penisnya dalam kulumanku yang terasa sangat licin dan basah.

“Enakk bangettt Umiii!!!” desah suamiku tak henti-henti.

Suamiku tampak sangat menikmati kulumanku tersebut hingga penisnya terasa makin menegang dan membesar dalam mulutku. Kuhisap-hisap dengan kuat seluruh batangnya tersebut seperti mengharapkan sesuatu keluar dari sana.

Selang tak berapa lama kemudian, akupun merasakan gairahku sudah tak bisa di tahan lagi. Vaginaku terasa sudah berkedut-kedut minta dimasuki oleh sesuatu. Dan dengan cekatan aku merayap naik pada tubuh suamiku dan mendorongnya pelan di closet duduk yang ada disana.

Suamiku menurut saja saat ku raih batang penisnya yang kecil dan menegang sangat keras itu sambil ku arahkan pada liang vaginaku. Mata suamiku nanar melihat aku yang seperti kerasukan setan ingin segera menuntaskan birahi ini.

“Umi masukin ya Bi!” ucapku meminta izin.

Kuturunkan sedikit pinggul dan pantatku ke ujung penisnya dengan sedikit tergesa-gesa karena dorongan nafsu yang begitu kuat. Entah kenapa rasanya aku sangat bernafsu saat ini dan menuntut penyelesaian secepat mungkin.

“Aaaachhhh...” kami berdua mendesah bersama saat aku menurunkan pinggulku lebih ke bawah lagi.

Batang penis suamiku itu melesak masuk seluruhnya dengan sangat mudah karena ukurannya yang kecil. Sedangkan vaginaku sudah sangat licin, hangat dan basah oleh cairan pelumas yang keluar begitu banyak dari liangnya.

Beberapa detik aku hanya diam menikmati sensasi tusukan batang suamiku tersebut. Walau tak sepenuh dan sesesak saat dimasuki penis Mang Dedi, namun rasanya cukup mengisi vaginaku yang masih punya daya jepit yang lumayan kuat itu.

“Umii makin pinter bikin Abi enak sekarang!” Puji suamiku meraih kedua payudaraku.

Aku tersenyum mencium bibirnya, “Abi juga tumben ga buru-buru..” balasku menggoyangkan pinggul.

Suamiku meringis merasakan goyangan pantatku yang kemudian kupompa dengan pelan-pelan. Posisiku yang saat ini berada diatas dan seperti menunggangi kuda itu, membuatku merasakan kenikmatan luar biasa setiap kali aku bergerak.

Tusukan suamiku itu semakin terasa nikmat karena aku dapat dengan leluasa mengarahkan bagian-bagian dalam liang vaginaku yang paling menimbulkan rasa nikmat saat tersentuh penis suamiku.

“Abihh.. Ohhhh.. Bii!!” desisku semakin bersemangat.

Badanku duduk di atas badan suamiku, sedang pinggul dan pantatku terus kuayunkan mengocok liang vaginaku dengan penis miliknya. Bunyi gesekan kelamin kami yang basahpun terdengar berkecipak karena cairan vaginaku sudah sangat banyak meleleh keluar.

Namun sayang, baru sekitar dua menitan aku menggenjotkan vaginaku dengan penuh semangat. Nafas suamiku sudah mendengus-dengus tak beraturan pertanda dia akan keluar sebentar lagi. Aku sudah menduga akan seperti ini jadinya sehingga akupun tak terlalu kecewa mengetahui suamiku tersebut akan ejakulasi.

“Umiihh.. Abii keluarrr” teriaknya begitu kencang meremas payudaraku dengan begitu kuat.

Tapi entah kenapa tubuhku tiba-tiba bergerak secara sendirinya mencabut tusukan penis suamiku seperti tidak rela kalau cairan itu masuk kesana. Alih-alih keluar di dalam, suamiku memuntahkan spermanya di badanku dengan sangat banyak dan berkali-kali lipat dari biasanya.

“CROOTT!!! CROTTT!! CROTTT!!! CROOTTTTT!!”

Sekitar empat tembakan kuat keluar dari ujung penis suamiku sambil diiringi tembakan-tembakan kecil setelahnya. Kupeluk dan kudekap erat badan suamiku agar dia dapat menikmati puncak kenikmatannya dengan sempurna. Kurasakan betul, penis suamiku yang terhimpit di perutku masih berkedut-kedut memuntahkan spermanya.

Suamikupun kemudian langsung lemas terduduk dan tak bertenaga.

“Apa yang aku lakukan??” batinku.

Aku sadar tidak mengizinkan sperma suamiku masuk ke dalam liang vaginaku setelah aku teringat bahwa didalamnya sudah ada benih Mang Dedi yang masuk lebih dulu. Entah apa yang aku pikirkan, tapi tubuhku seolah berkata kalau aku tak ingin dibuahi untuk sementara waktu selain oleh benih Mang Dedi.

“AKU SUDAH GILA??!!!”



Part 10 : Terlalu Berani


Tidak terasa, tiga hari sudah waktu berlalu semenjak persetubuhan terlarangku dengan Mang Dedi pada sore itu. Hari demi hari berlalu begitu cepat. Malam demi malampun kulalui dengan perasaan kalut dan bingung, antara harus merasa senang atau bersalah disaat yang bersamaan.

Semenjak kejadian itu pula, aku kemudian mengkondisikan hubunganku dengan Mang Dedi seperti biasa lagi. Meski aku tidak menjauhinya, namun setiap kami bertemu aku selalu berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa diantara kami.

Kuakui bahwa sebenarnya aku rindu akan dekapan dan cumbuan hangat tubuhnya pada diriku. Bahkan ketika kami masih rutin bertemu setiap pagi saat aku berbelanja, Mang Dedi selalu memanfaatkan momen itu untuk merayu dan menjamah tubuhku meminta untuk mengulang kejadian terlarang kami.

Tapi dengan halus selalu ku tolak ajakannya tersebut. Bukan bermaksud untuk menjadi munafik, namun aku benar-benar sudah mulai dihantui perasaan bersalah karena telah berselingkuh di belakang suamiku. Martabat dan harga diri yang harusnya mati-matian ku bela itupun, kini telah rusak oleh nafsu yang menutupi akal dan pikiran sehatku.

Dampaknya jadi sangat terasa setiap kali aku melayani suamiku di ranjang, yang terbayang olehku hanyalah sosok Mang Dedi saja. Terbayang akan caranya memuaskanku, terbayang pula akan penis besar tak bersunat miliknya yang selalu perkasa membuatku berkelojotan penuh nikmat.

Seks dengan suamiku yang sebelumnya masih bisa aku nikmati itupun, terasa semakin lebih hambar karena aku mulai membanding-bandingkannya dengan cara Mang Dedi melakukannya denganku.

Walau suamiku sudah mengalami kemajuan dalam caranya bercinta sekalipun, namun tetap saja masih belum bisa menyaingi keperkasaan Mang Dedi yang benar-benar membuat ku kelojotan itu.

“Cuma di pegang-pegang doang nih Mbak?" Ucap Mang Dedi tiba-tiba menyadarkanku.

Aku menoleh padanya dan sadar bahwa saat ini aku masih berada di tempat Mang Dedi berjualan, “Eh, Maaf Mang.. Aku melamun” balasku tersenyum salah tingkah.

Seperti biasa, di depan orang banyak aku dan Mang Dedi selalu memanggil satu sama lain dengan sebutan formal agar orang-orang tidak terlalu ngeh dengan kedekatan kami berdua.

“Pagi-pagi udah ngelamun aja Uni!! Gak dapet jatah dari suami ya??” Celetuk salah satu ibu-ibu yang sedang berbelanja.

Suasana kemudian menjadi riuh karena semuanya jadi tertawa, “Ah.. Bu Retno udah kayak peramal nih...” balasku mengimbangi candaan salah satu ibu-ibu yang bernama Retno tersebut.

Namun sebenarnya aku juga menyembunyikan rasa malu karena apa yang Bu Retno katakan itu cukup benar. Akan tetapi jatah yang kumaksud disini bukanlah yang dari suamiku, melainkan dari Mang Dedi.

“Saya kan udah berumah tangga lebih dari 30 tahun Uni!! Udah hapal sama gerak geriknya” balas Bu Retno lagi.

Tapi kemudian Mang Dedi ikut menimpali, “Nanti saya yang jatahin” ucapnya mengerlingkan mata padaku.

Sontak keadaanpun bertambah riuh dengan teriakan dan tawa ibu-ibu pada Mang Dedi. Semua ibu-ibu yang ada disanapun sesekali bercanda membully Mang Dedi dengan sebutan halu dan sebagainya.

“Ngimpi bener lu Dedi!! Kebanyakan halunya..” cetus Bu Retno yang paling gencar meledeknya.

Mang Dedipun tak kalah bersemangat membela dirinya sendiri, “Yeee.... siapa tau Mbak Liyanya khilaf dan mau sama saya” balasnya.

"Hahaha. Sampai kura-kura jadi presiden juga, kamu gak bakal bisa dapetin yang macam Uni Liya ini Dedi!!" Jawab salah satu Ibu-ibu lagi.

"Wah.. wah.. meremehkan saya ini Ibu-ibu. Tidak tau kalian kalau saya sudah jadian sama Mbak Liya.. Iya gak Mbak??" balas Mang Dedi kini membawaku.



Aku sebenarnya tidak suka dengan cara bercandanya yang terus-menerus menyerempet ke arah hubungan terlarang kami tersebut. Tapi mengingat saat ini kami dalam kondisi dan suasana beramai-ramai, aku mencoba menahan rasa marahku.

"Enggak tuh.. sejak kapan??" Ucapku dengan ketus.

Seketika itu juga tawa para ibu-ibu disana kembali pecah melihat bagaimana aku menolak Mang Dedi secara gamblang tersebut. Bahkan ada yang meledek kalau bujang lapuk penjual sayur seperti Mang Dedi tidak akan pernah bisa mendapatkan wanita seperti aku.

Walau pada kenyataannya, tukang sayur yang tengah mereka bully dan katai itu ternyata sudah benar-benar pernah mendapatkan tubuhku dan menggumulinya dengan begitu perkasa. Tapi baik aku dan Mang Dedi tentu saja hanya diam dan ikut saja dengan riuhnya candaan dan ledekan mereka tersebut.

Selang tak berapa lama kemudian, kehebohan para ibu-ibu itupun akhirnya berakhir. Satu persatu dari mereka berpamitan pulang usai berbelanja kebutuhan masing-masing. Dan seperti biasanya, aku menjadi orang yang terakhir yang pulang.

“Tega banget aku di bully sama mereka..” Rajuk Mang Dedi tiba-tiba memelukku.

Aku terlonjak kaget dan memberontak dari pelukannya, “Mas jangan dong!! nanti diliat orang” protesku celingak-celinguk melihat keadaan sekitar. Takut kalau ada yang melihat kami.

“Hehehe. Sorry sayang” balasnya terkekeh melapaskan pelukan.

“Mas tuh ya! Liat-liat situasi sedikit napa!!” kataku menaikkan nada karena memang aku merasa tak senang dengan caranya.

“Abis aku kangen banget sama kamu Dek Liya..” rayunya dengan dengan manja.

Aku kemudian melayangkan cubitan di pinggangnya, “Tapi gak begitu juga Mas!!” ucapku ketus sambil mengeluarkan dompet.

“Loh?? loh?? Dek Liya udah mau pulang??” tanya Mang Dedi heran.

Aku mengangguk, “Iya. Udah di tungguin sama suami” balasku berbohong.

"Gak mau nyantai dulu gitu sama aku?" Tanya Mang Dedi menepuk pantatku tiba-tiba.

Sekali lagi aku mencubitnya, "Mas tolong ya!! Aku gak suka!!" Kataku dengan nada yang marah.

“Tapi sama yang ini suka kan?” Ucap Mang Dedi tiba-tiba mengeluarkan penisnya dari balik celana dengan begitu berani.

Sontak aku kaget dan reflek mendekat menahan celananya, “Mas apaan sih!! jangan begitu!!” Ucapku protes sambil melihat-lihat keadaan sekitar lagi. Rasanya benar-benar takut dilihat oleh orang.

“Abisnya Dek Liya nolak aku terus..” ucapnya merajut dan cemberut.

“Mas tolong!! aku udah punya suami” balasku meminta pengertiannya.

Tapi Mang Dedi tampak tidak mau mendengarkanku, “Kemaren aja kamu desah-desah sama kontolku”

“PLAAAAAKKKK”

Tanganku reflek menampar pipinya. Sudah habis kesabaranku dari tadi meladeni cara Mang Dedi yang selalu saja memperlakukanku layaknya wanita murahan. Aku tau kalau aku yang membukakan pintu pada hubungan terlarang ini, membiarkan Mang Dedi menikmati tubuh dan ragaku sekali, tapi bukan untuk hal seperti ini aku melakukannya.

“Cukup Mas! Aku gak suka dengan caramu” Ucapku menatap tajam matanya.

Mang Dedi tampak cukup shock dengan tamparan ku tersebut dan meringis memegangi pipinya dengan telapak tangannya.

Perlahan-lahan, pandanganku mulai mengabur oleh gumpalan air mata yang kemudian jatuh membasahi pipiku. Hatiku terasa sangat sakit, perih didadaku menjalar ke setiap syaraf yang ada di tubuhku hingga membuat badanku terasa sangat lemas.

Tak pernah aku merasakan diriku sehina ini sebelumnya, diperlakukan bak wanita murahan yang gampang dirayu dan dijamah oleh laki-laki lain semaunya.

“De--dek??” panggil Mang Dedi yang terlihat kaget melihatku menangis.

Dengan mata yang berkaca-kaca aku menatapnya, “Apa aku terlihat murahan di matamu Mas?” tanyaku padanya.

“Tidak.. tidak sama sekali Dek Liya. Kamu wanita terbaik yang ada buat aku” balasnya mendekat memegang tanganku.



Aku lalu menghempaskan tangan, “Lalu kenapa kamu perlakukan aku seperti salah satunya!!” teriakku sedikit kencang tak peduli kalau orang di sekitarku bisa mendengarnya.

"Dek.. Aku--"

"Aku apa Mas?? Mas pikir aku murahan?? Karena itu Mas memperlakukan aku seenaknya saja?? Iyaa???" Ucapku yang terus menangis.

“Ma--maafkan aku Dek.. aku tidak bermaksud-”

"Tidak bermaksud apa Mas?" Tanyaku memotong pembicaraannya.

"Tidak bermaksud membuatku semakin merasa bersalah??? Aku sudah punya suami Mas!! aku sudah mengkhianati dia demi kamu!!" Sambungku mencecarnya.

“Maafkan aku Dek.. Maafkan aku..” Ucapnya dengan lirih.

Bersamaan dengan itu, air mata yang tadi berusaha aku tahan kembali membuncah keluar, “Aku bukan wanita seperti itu Mas!! aku tidak seperti itu!” balasku menyangkal tatapannya.

“Aku tau Dek Liya... Aku yang salah” jawab Mang Dedi terus mengaku.

“Kamu duduk dulu disini ya..” lanjutnya menarik tanganku masuk ke dalam pos ronda.

Dengan lemas aku mengikuti Mang Dedi yang kemudian menuntunku duduk di lesehan bambu yang menjadi saksi bisu awal perbuatan terlarang kami. Ku hempaskan tangannya yang memegang tanganku, dan aku menunduk. Menatap kakiku yang menapak lantai pos ronda itu.

Beberapa menit ku habiskan dengan diam dan menahan tangisku yang semakin membuatku sesegukan berkali-kali. Kurasakan Mang Dedi memegang bahuku sambil kemudian merendahkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Namun aku membuang muka ke arah lain, tak ingin menatapnya.

Sekuat hati aku menafikkan diri, berkata dalam hatiku bahwa aku bukanlah wanita murahan. Menyangkal setiap pikiran buruk itu sambil mengucap kata-kata penenang berulang kali agar hatiku ikut tenang.

Tapi jauh dari lubuk hatiku, aku tau kalau sebenarnya aku adalah perempuan itu. Perempuan yang tak bisa menahan godaan nafsunya, seorang istri yang tak dapat menjaga kesucian pernikahannya, dan seorang wanita yang dengan rela membiarkan laki-laki lain menikmati tubuhnya.

“Aku tau sayang..Aku tau pengorbanan besarmu untukku.. Maafkan aku” Ucapnya begitu lembut.

Mang Dedi bergerak menelangkupkan tangannya pada pipiku dan menyeka air mataku dengan ibu jarinya.“Aku sayang sama kamu” ucapnya tiba-tiba.

“Aku memang terlihat seperti ini, tapi yakinlah setiap hari aku berdoa agar kamu bisa jadi milikku Dek Liya” lanjutnya mengecup pelan bibirku.

Tapi dengan begitu cepat aku tahan bahunya, "Jangan Mas!! Jangan lagi" Pintaku setengah memohon.

Ini tidak boleh terjadi dan terulang lagi. Aku sudah punya keluarga, dan sudah sekali mengkhianatinya. Satu-satunya cara agar aku bisa keluar dari kubangan dosa ini adalah dengan tidak mengulangi kesalahanku dan tetap menjaga kesetiaan ini saja.

Namun Mang Dedi tak menyerah, “Kenapa Dek Liya? Aku sangatlah mencintaimu. Tolong jangan tolak aku” rayunya setengah berbisik.

Aku terdiam, mendengar Mang Dedi terus mengucapkan kata-kata mesra itu sambil menatap mataku dalam-dalam seolah ingin menunjukkan kebenaran dan keseriusannya.

Mang Dedi lalu menarik pelan daguku mempertemukan bibir kami. Dia mengecup dan sedikit melumatnya hingga detak jantungku dibuat berdegup kencang. Bibirnya mulai melumat pelan dan begitu mesra bibirku.

Perasaankupun menjadi tidak karuan. Antara takut kembali hanyut dan senang bercampur dengan rangsangan yang mulai menjalari tubuhku kembali.

"Mashh..." Ucapku masih mencoba melepaskan diri dengan niat yang setengah-setengah itu.

"Tenanglah Dek Liya. Aku tidak akan menyakitimu" balasnya menenangkanku.

Aku terpejam merasakan hatiku menghangat oleh ciuman dan mendengar ucapannya tersebut. Mulai lagi luluh dengan kata bualan yang belum aku ketahui benar atau tidak, namun dengan sangat cepat dapat mampu menghapus nada keragu-raguan yang ada dalam diriku.

“Bodohh.. kamu memang bodoh Liya!!” batinku berteriak dengan sangat kencang.



Baru beberapa saat yang lalu aku membela diri dengan mengatakan bahwa aku bukanlah wanita murahan yang gampang dirayu. Namun lihat sekarang, aku seperti termakan dengan omonganku sendiri dan kena getahnya saat membiarkan Mang Dedi menciumiku.

Bahkan aku senantiasa membuka bibirku untuknya. Membiarkan nafas kami saling menghembus dengan lambat, manis dan memabukkan diantara ciuman terlarang itu.

“Ya Tuhan, Maafkan aku” lagi-lagi aku berteriak dalam hati.

Lambat laun tangisku berhenti dan mengering, mulut yang tadinya menolak itu kini malah mendesah lirih merasakan ujung lidah Mang Dedi bergerak terpaut dalam gerakan yang erotis menyusuri setiap rongga dalam mulutku.

Aku menggeliat, merasakan posisiku sudah mulai tak nyaman oleh birahi yang dibangkitkan oleh Mang Dedi. Apalagi tangannya sekarang mulai menggerayangi badanku, mengirim rangsangan demi rangsangan yang semakin membuatku hanyut dalam permainannya.

“Aku kangen sama kamu Dek Liya..” ucap Mang Dedi tersenyum.

“Kamu mau maafin aku kan??” sambungnya lagi bertanya.

Ingin rasanya sekali lagi aku menampar wajahnya tersebut karena sudah kembali meruntuhkan tembok pertahananku dengan mudah. Aku lagi-lagi hanyut hanya dengan sedikit kata rayu dan sebuah gerakan yang menipu itu.

Aku lalu mengangguk, menyerahkan lagi keraguan terakhirku padanya, “Janji ga gitu lagi??” ucapku menuntut.

“Aku janji sayang” balas Mang Dedi tersenyum sumringah padaku.

Kuseka mataku yang daritadi basah itu lalu berdiri bangkit, “Yasudah kalau gitu aku mau pulang” kataku merapikan baju.

Namun Mang Dedi menahan tanganku, “Tapi aku masih kangen sama kamu Dek.. Bantu aku sekali ini saja..” pintanya memelas dan memohon padaku.

Aku kemudian melihatnya sebentar dalam diam, mencari-cari sebuah alasan kenapa aku harus mau mengabulkan permintaannya yang sudah pasti akan mengarah pada penyelewengan lagi.

“Aku harus bantu apa Mas??” tanyaku mendengus ikut merasa kasihan.

“Jangan marah ya tapi!!” Ucapnya terdiam sebentar. Lalu dia menarik nafas melanjutkan, “Aku mau diemutin sama kamu..” sambungnya dengan berani.

"HAAHH??" Ucapku tidak percaya dengan apa yang dia katakan barusan.

Mang Dedi lalu manyun, "Tuh kan marah lagi" ucapnya menyerah.

Tapi sebenarnya, kali ini aku tak marah mendengar permintaan cabulnya itu. Justru badanku malah merasa sedikit aneh dibuatnya karena tiba-tiba saja darahku berdesir panas dingin dan jantungku berdebar sangat cepat dibuatnya.

Permintaan Mang Dedi yang begitu kotor itu, malah sukses membuat badanku bergelinjang geli merasakan vaginaku berdenyut saat aku ikut terbayang adegan dimana aku sebagai seorang istri dan seorang muslimah yang taat sedang mengulum kejantanan Mang Dedi tempat umum seperti ini.

Apalagi ketika aku secara sadar betul bahwa laki-laki penjual sayur itu juga merupakan seorang non muslim yang berbeda denganku.

“Ohh.. ada apa ini??” batinku seperti menggeliat.

Aku menyapukan pandanganku ke sekitar melihat apakah ada orang yang lewat, “Di--disini Mas??” tanyaku tergugup ragu.

“Iya Dek. Sebentar saja kok..” pintanya sudah tidak sabaran.

“Ka--kalau ada orang liat gimana??” tanyaku masih sangat ragu.

Mang Dedi lalu menarik badanku merapat ke arah dinding, “Duduk disini Dek. Gak bakalan ada orang yang liat dari luar” ucapnya menjelaskan.

Aku berdiam diri sejenak, menimbang apa yang harus aku lakukan. Ragu awalnya untuk memenuhi permintaan gila Mang Dedi tersebut mengingat kondisi dan situasi yang rawan seperti ini.

Namun diam-diam aku merasa tertantang, birahiku malah naik semakin menggebu-gebu membayangkan betapa nakalnya aku jika mau menuruti keinginan gila tersebut.



Dan lagi-lagi, ada perasaan aneh yang menyembul dalam hatiku saat ingin merasakan seperti apa rasanya menakalkan diri dengan cara yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.

“Sebentar saja!” ucapku mengangguk pelan menyetujui sambil memastikan kembali keadaan di sekitar.

Mang Dedi tersenyum girang, “Iya sebentar saja” Ucapnya menuntunku.

Bak seekor kerbau yang di cucuk hidungnya, aku kemudian menurut saja saat Mang Dedi menyuruhku berlutut tepat diantara selangkangannya.

Posisiku saat ini sedikit bersandar membelakangi tembok pos ronda yang lumayan tinggi tersebut, sehingga dari luar tak ada yang dapat menyaksikan keberadaanku yang ada di bawah Mang Dedi.

“Bukain dong sayang!” kata Mang Dedi saat aku hanya melihat saja.

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat lagi dan adrenalinku jadi terpacu. Hatiku sedikit memberontak dan berkata bagaimana kalau seandainya ada orang yang melihat kami.

Namun aneh aku tak dapat menahan tanganku yang bergerak sendiri menurunkan resleting celana pendek yang dipakai oleh Mang Dedi. Pelan-pelan kugunakan tanganku menjangkau penis besar yang berada didalamnya tersebut dan mengeluarkannya.

Seketika penis itu meloncat keluar menampar wajahku, “Hehehe... maaf sayang sudah tegang” kekeh Mang Dedi mengelus kepalaku.

Aku menggeleng sebentar menatap tak percaya. Tubuhku langsung meremang ketika bau khas penis Mang Dedi yang menyengat dari biasanya itu menembus hidungku. Aku bahkan bisa merasakan wajahku memanas sampai ke bagian telinga belakangku.

“Ini dia!!” batinku girang saat aku kembali berjumpa dengan penis besar nan perkasa milik Mang Dedi yang tempo hari sudah memberikan kenikmatan luar biasa padaku.

Aku berdeham kecil. Tenggorokanku mendadak tersendat dan kering. Butuh kendali diri yang kuat untuk sekadar menatap batang penis besar yang berada di depanku tersebut.

"Kenapa sayang?? Kamu kan udah pernah melihat dan merasakannya." rayu Mang Dedi melihatku seperti terpatung di antara selangkangannya.

Harus kuakui memang, berapa kalipun aku melihat kejantanan Mang Dedi, aku tidak bisa berhenti dibuat takjub dan terangsang olehnya. Batang itu terlihat hitam kecoklatan dan nampak begitu perkasa sekaligus seksi dimataku.

Apalagi dengan ujungnya yang tersembunyi malu-malu di dalam kulupnya yang tidak disunat itu. Yang entah bagaimana seolah menghipnotisku untuk segera menjilat dan merasainya.

Dengan masih sedikit ragu, aku menjulurkan tanganku pelan untuk menyentuh dan memegangi penis Mang Dedi. Seperti biasa, aku reflek hanya meremas batang kejantanan yang tak disunat itu terlebih dahulu dengan sesekali memberikan pijatan-pijatan lembut sampai batang itu menjadi mengeras dan membesar.

Hangat, berdenyut dan keras. Itulah tiga kata yang bisa menggambarkan bagaimana rasanya penis Mang Dedi di dalam genggamanku tersebut. Tampak terlalu besar pula hingga aku harus mengerahkan kedua tanganku untuk memegangnya.

Kuarahkan tanganku ke bagian pangkal penis Mang Dedi dan kutarik kulupnya ke bawah dengan pelan. Sehingga kini kepala penisnya yang berwarna pink itu menyembul keluar fari tempatnya.

"Ho...Ho... udah pinter kamu melayani kontol tak disunat Dek Liya" racau Mang Dedi dengan seenaknya.

Aku tak mempedulikan omongan kotornya tersebut dan memajukan bibirku mengecup ujung penis Mang Dedi yang sedikit basah oleh cairan yang keluar dari lubang kencingnya. Rasanya amat tidak asing, sedikit ada asinnya, tapi tidak seasin itu.

Namun aku tetap mengecup penis itu tanpa merasa jijik sama sekali. Dengan mulutku, aku kemudian membasahi kepala penis Mang Dedi dengan air liur dan mengulum hanya pada bagian kepala yang berbentuk seperti jamur itu.

Licin, dan nikmat. Aku menghisap dengan kuat dan melepaskannya beberapa kali hingga membuat Mang Dedi menggelinjang geli.

"Ooughhh.." Dia mengerang memegangi kepalaku yang terbungkus hijab.



Aku kembali meraih penis Mang Dedi, kali ini langsung ku masukkan sedalam mungkin ke dalam mulutku. Kuhisap dan kuputar lidahku di dalam sana, lalu ku tarik lagi keluar untuk mengambil nafas.

Menyisakan sedikit batangnya dalam mulutku dan kembali mendorongnya masuk hingga ujung kejantanan Mang Dedi itu menumbuk pada tenggorokanku.

Aku terbatuk sebentar, melepas batang penis itu. Air mataku bahkan keluar sedikit, dan Mang Dedipun tersenyum melihatku. "Pelan-pelan aja sayang.. jangan buru-buru begitu." Ucapnya memberikan saran.

Aku lagi-lagi tak menjawab. Perlahan-lahan kumasukan kembali penis Mang Dedi pada mulutku dan ku hirup air liurku yang meleleh di batang kejantanannya itu.

Penuh rasanya mulutku, Semakin lama aku menghisap penis Mang Dedi, semakin lupa pula aku bahwa saat ini kami tengah berada di pos ronda dan aku menghisap kejantanan lelaki lain selain suamiku.

Perasaanku yang diselubungi nafsu syahwat itu membuatku semakin buta dan bernafsu memaju mundurkan kepalaku mengocok penis keras Mang Dedi yang penuh menusuk langit-langit dan tenggorokanku.

Sedang dilanda nafsu berat itu, tiba-tiba saja samar aku mendengat suara anakku Tasha yang berbicara dengan lantangnya dari kejauhan.

"Caca mau es krim Abi!!! Pokoknya mau es kriimm!!"

DEGHHH!! Aku langsung terkejut. Tiba-tiba tubuhku kehilangan tenaga dalam sekejap mata. Napasku tertahan dan jantungku berdegub sangat kencang. Aku mencoba menarik kepalaku dan mengeluarkan penis Mang Dedi dari mulutku.

Namun seketika itu aku gagal karena Mang Dedi menahan kepalaku serapat mungkin di selangkangannya, "Ssssttt... jangan bergerak Dek Liya! Ada suami dan anakmu" ucap Mang Dedi meletakkan telunjuknya di bibir.

Ternyata dugaanku benar. Ada Tasha dan suamiku yang mendekat ke arah kami saat kudengar pula nada suamiku berbicara, "Iya sayang.. nanti siang kalu kamu udah makan kita beli es krim" ucap suamiku terdengar membujuk Tasha.

"Kok sepi Mang?? Pada kemana?" Lanjut suamiku bertanya pada Mang Dedi.

Jantungku terasa semakin mau copot mendengar suara suamiku semakin dekat dengan tempatku yang sedang mengulum penis Mang Dedi. Ini benar-benar sesuatu hal yang sangat gila yang pernah aku perbuat. Berselingkuh nyari di depan suamiku sendiri.

"Iya nih Da, udah pada balik" jawab Mang Dedi dengan santainya.

Mang Dedi mengeliatkan badan dan menggerakkan pinggul memompa penisnya di mulutku. Sekuat tenaga aku mencubit pahanya melarang agar dia tidak bergerak karena takut ketahuan. Tapi Mang Dedi terus saja memegang kepalaku dan memasukkan penisnya semakin dalam pada mulutku.

"Mang, gak liat istri saya?" Tanya suamiku lagi.

"Tadi udah kesini Uda. Nyari terong katanya" balas Mang Dedi. Sementara di bawah sini aku tak henti-hentinya berusaha memberontak untuk melepaskan diri.

"Hahaha. Iya nih Mang. Istri saya emang paling suka makan terong" balas suamiku dengan bodohnya. Tidak tau kalau di depannya saat ini aku sedang mencicipi "Terong" lelaki lain.

Mang Dedi lalu terkekeh menatapku ke bawah, "Iya kayaknya Mbak Liya emang paling suka sama terong" ucapnya seolah sedang meledekku.

Bukannya merasa marah dengan candaan Mang Dedi tersebut, aku justru merasakan vaginaku semakin berdenyut-denyut melakukan perbuatan yang sangat tabu dan nakal seperti ini di depan suamiku sendiri.

Walau dia tak menyadari sama sekali, tapi itu semua sudah cukup membuat adrenalinku begitu terpacu. Wajahku semakin memanas, badanku seakan menggigil panas dingin dibuatnya. Namun kini aku malah semakin ingin pula melanjutkannya.

"Halo om baik" ucap Tasha tiba-tiba ikut menyapa Mang Dedi.



Mang Dedi lalu membalas melambaikan tangannya, "Halo Caca" jawabnya tersenyum.

Aku sempat lupa bahwa Mang Dedi dan Tasha sudah pernah bertemu sebelumnya. "Caca sudah kenal sama Om ini?" Tanya suamiku heran.

"Udah Abi.. Ini kan Om baik" jawab Tasha dengan gemasnya.

"Loh? Baik kenapa emangnya?" Tanya suamiku sekali lagi.

Sontak aku tersadar kemana arah pembicaraan ini, "Om baik mau bantuin Caca punya adek Bi.." balas Tasha dengan polosnya.

Hampir saja aku tersedak oleh penis Mang Dedi mendengar Tasha anakku dengan gamblang berbicara seperti itu pada Abinya. Aku malah ikut mengutuk diriku karena belum sempat melarang Tasha berbicara kepada suamiku perihal masalah "buat membuat adik" tempo hari.

"Oh ya??" Teriak suamiku penuh nada sindiran.

Namun Mang Dedi dengan cekatan membela dirinya, "Haha.. Becanda itu Uda!! Saya cuma bermaksud mau ngasih boneka buat jadi Adek-adekan Caca" balas Mang Dedi berkilah.

Sementara dibawah sini aku semakin gencar saja menjilat penis Mang Dedi dengan mulutku sambil sesekali mengurut batangnya yang besar. Dalam hati aku cukup girang melihat Mang Dedi seperti kewalahan di interogasi suamiku disaat bersamaan dengan serangan mulut dan lidahku pada penisnya.

"Emang Caca kenal sama Om ini dimana?" Tanya suamiku sekali lagi.

Tasha terdengar berdiam sebentar lalu menjawabnya, "Kan Om nya mandi di rumah kita Bi.." balasnya yang lagi-lagi jujur.

Baik aku dan Mang Dedi sama-sama terkejut dan semakin berkelojotan salah tingkah saat mendengar jawaban dari Tasha.

Di tengah pembicaraannya dengan anakku tersebut. Mang Dedi semakin blingsatan menerima layanan mulutku pada batang penisnya. Tubuhnya semakin menegang saat bibirku menyedot kedua biji batangnya secara bergantian.

Entah darimana aku mempelajari cara seperti itu, namun dengan nafsu yang begitu membara membuatku berpikir kalau hal tersebut perlu dilakukan untuk menambah kepuasan Mang Dedi.

"Waduh.. kapan itu?" Selidik suamiku sekali lagi.

Mang Dedi kemudian memotong, " Hehehe...Hari selasa kemarin Mas.. kebetulan saya mau pinjam jas hujan sama Mbak Liya, tapi karena gak ketemu jadi saya neduh dulu di rumah" balasnya menjelaskan seperti maling yang kedapatan.

Dibawah sini aku terus bermain-main dengan Penis Mang Dedi yang sudah sangat keras dengan aroma khasnya itu. Kemudian kujilati dari buah pelirnya terus naik kebatang dan kumainkan lidahku berputar-putar dikepala jamurnya.

"Kok istri saya ga pernah bilang ya?" Tanya suamiku belum merasa puas.

"Mungkin lupa Uda, lagian itu ga penting-penting amat. Saya kebetulan numpang mandi karena udah basah kuyup duluan" lanjut Mang Dedi membalas.

Tidak puas bermain-main dengan batang kemaluannya saja, mulutku lalu bergeser ke bawah menyusuri guratan urat yang memanjang dari ujung kepala kemaluan Mang Dedi hingga ke pangkalnya.

Semakin lama semakin membuatku bernafsu pula akibat aroma penis Mang Dedi yang memabukkan dan adrenalinku yang terpacu saat melakukan perselingkuhan secara diam-diam ketika ada suamiku tersebut.

Namun setelah tak berapa lama berbincang dengan suamiku, Mang Dedi menunduk ke arahku dan berbisik, "Aku mau keluar" ucapnya memberi aba-aba.

Seketika aku jadi gelagapan, karena sebentar lagi Mang Dedi akan memuntahkan cairan spermanya. Sedangkan aku bingung harus memuntahkan dimana, sementara penisnya saja masih tertanam di mulutku dengan begitu mantap.

"Yaudah kalau gitu saya mau pamit dulu Mang! Kalau liat istri saya, tolong bilangin saya nyari dia" Ucap suamiku terdengar tiba-tiba.

Aku sedikit bisa bernafas lega karena setidaknya suamiku akan pergi saat Mang Dedi akan mengeluarkan cairan spermanya. Sehingga aku dapat dengan cepat mengeluarkan penis Mang Dedi dari dalam mulutku.

"Oougghh. Mantep sekali!!! Aku mau ngecrot di mulutmu Dek Liya" racau Mang Dedi terlepas.

Dugaanku ternyata amat sangat salah. Karena setelah suamiku pergi, Mang Dedi mengerang dan mengeram keras menahan kepalaku di penisnya hingga membuat kemaluan besarnya itu makin masuk ke dalam menyentuh tenggorokanku.

"Mmppphh.... mmmmppphh..." protesku dengan mulut tertahan.

Dalam usahaku yang memberontak itu pulalah, Tiba-tiba saja kerongkonganku terasa tersiram oleh cairan hangat yang langsung mengalir jatuh ke dalam perutku dengan begitu banyak.

CROOTTT!!! CROOTTT!!! CROOOTTT!!! CROOTTTT!!

Aku tersadar kalau Mang Dedi telah mengeluarkan spermanya dalam mulutku sampai aku menelannya secara langsung. Tubuh Mang Dedi yang bergetar itupun langsung aku dorong sekuat tenaga sehingga dia jatuh tersungkur di lantai dengan penis yang masih menembakkan spermanya.

"PLAAAAKKKKK!!!" lagi-lagi ku tampar wajah Mang Dedi.



Part 11 : Terbayang


Dalam perjalananku pulang ke rumah, aku mencoba menata hatiku yang penuh dengan rasa cemas tak terkira. Perasaan berdosa karena telah berbohong terhadap suamiku benar-benar menjadi beban buatku. Aku ingin segera bertemu dengannya untuk memastikan kalau dia tak salah paham mendengar perkataan Tasha tadi.

Aneh memang karena sekarang aku tak lagi merasa bersalah ketika berselingkuh dengan Mang Dedi. Justru kesalahpahaman kecil seperti inilah yang membuatku lebih khawatir, karena aku merasa lebih takut ketahuan dibanding melakukan penyelewengan itu sendiri.

“Kamu sudah benar-benar gila Liya” batinku menggeleng-geleng mengingat kelakuanku di pos ronda tadi.

Sebenarnya perasaan birahiku masih saja menggebu-gebu dalam dada. Terlalu sulit melupakan kejadian saat aku terpaksa menelan cairan sperma Mang Dedi ke dalam mulutku. Walau ada perasaan jijik yang membuatku sedikit mual, namun ternyata rasa cairan putih itupun tak seburuk yang kubayangkan sebelumnya. Atau mungkin aku malah sedikit menyukainya, karena sperma Mang Dedi terasa begitu gurih, asin, pahit dan sedikit manis saat aku menelannya.

Tapi sebelum aku mengakui, harga diriku bergerak lebih cepat sehingga aku dengan sengaja melayangkan tamparan ke wajah Mang Dedi. Bukan marah karena dia menumpahkan spermanya di mulutku, tapi kesal karena dia tidak meminta ijin terlebih dahulu.

Akupun meninggalkan Mang Dedi dalam keadaan terheran begitu saja. Sengaja pula tak ku bayar sayuran yang kubeli darinya karena aku merasa gemas dan kesal dengan perbuatannya tersebut.

Sifat jahil dan suka bercanda yang dimiliki Mang Dedi memang adalah alasan utama kenapa aku ingin dekat dengannya dari awal, karena aku membutuhkan hiburan saat aku merasa kesepian di tinggal suamiku. Akan tetapi kalau sudah kelewatan seperti ini, akupun merasa harus segera bertindak agar dia tak semena-mena terhadapku.

“Darimana Mi..??” sapa suamiku yang ternyata menyambut di depan pintu rumah.

Aku sedikit terkaget lalu memasang senyum palsu seperti seorang pemain sinetron, “Dari konter Bi!! Umi beli kuota” jawabku membohonginya.

“Pantesan tadi Abi nyari ke Mang Dedi gak ada..” balas suamiku mengambil barang belanjaanku dari tangan.

Kami berdua kemudian berjalan masuk ke dalam rumah menuju dapur, “Emangnya Abi ngapain cari Umi segala??” tanyaku berpura-pura.

“Itu tadi Caca merengek minta Es Krim mulu!! Abi bilang nunggu Umi balik belanja.. Eh dianya malah pengen nyusulin kamu katanya” balas suamiku menjelaskan.

“Trus anaknya mana??” tanyaku lagi.

Suamiku memonyongkan bibirnya ke dalam kamar, “Itu lagi video call-an sama neneknya. Dia lagi cerita mau punya adik” jawab suamiku.

“Uhuukk.. uhukk..” aku terbatuk kaget. “Mau punya adik darimana??” tanyaku merasa menggigil.

“Tau tuh. Katanya dari Om Baik” jawab suamiku dengan nada penuh sindiran.

Aku berpura-pura memalingkan wajah mengambil air minum, “Mang Dedi??” tanyaku berusaha sesantai mungkin.

“Iya. Umi kok tau??” balas suamiku bertanya.

“Kemaren katanya mau beliin boneka buat Caca sih. Buat jadi Adek-adekan” jawabku memberi alasan yang sama seperti alasan Mang Dedi.

Akan tetapi suamiku tampaknya sudah mulai sedikit curiga, “Umi kok gak ngomong sih kalau Mang Dedi pernah dateng ke rumah?? pake numpang mandi pula!” tanyanya penuh selidik.

“Umi lupa Bi! Lagian itu udah dua hari yang lalu..” jawabku duduk di meja makan.

Kurasakan lututku sebenarnya sangat lemas dan jantungku berdegub sangat kencang memberitahukan kebohongan demi kebohongan pada suamiku sendiri untuk menutupi perbuatan terlarangku.



Namun disetiap kali suamiku memakan kebohonganku tersebut, ada perasaan puas yang begitu aneh melegakan hatiku.

“Iya tapi kenapa sampai mengizinkan dia mandi di rumah kita segala??” lanjut suamiku bertanya.

Aku menatap balik, “Kasihan Bi! Dia udah basah kuyup sampai disini” balasku menjelaskan.

“Kalau udah basah kuyup kenapa gak sekalian pulang aja??” suamiku masih belum menyerah.

Namun kali ini aku kehabisan alasan untuk menjawabnya, “Maksud Abi apaan?” tanyaku berbalik.

“Engga ada maksud apa-apa!” balas suamiku berkilah.

“Trus kenapa nanya-nanya kayak menuduh Umi gitu??” tanyaku lagi.

Kali ini suamiku yang menatap balik, “Umi merasa tertuduh??” tanyanya padaku.

Aku tiba-tiba terdiam. Otakku berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjawab. Tapi aku semakin gugup seperti seorang penjahat yang berusaha berkilah saat di interogasi, namun akhirnya tertangkap basah juga.

“Kok diam??” tanya suamiku sekali lagi.

Aku mengangkat kedua bahuku, “Abi mau Umi jawab kayak apa??” tanyaku.

“Gak tau! Mungkin sedikit kejujuran” kata suamiku.

“Jujur tentang apa?? Umi cuma ngobrol doang sama Mang Dedi” balasku semakin berkilah.

Namun tampaknya suamiku malah semakin yakin dengan tuduhannya, “Abi gak nuduh Umi berbuat apa-apa loh tadi. Eh ternyata kalian mengobrol juga” ucapnya penuh nada sindiran.

“Emang Umi gak boleh ngobrol sama orang selain Abi gitu?? Abi aja udah jarang ngobrol sama Umi..” Ucapku tak kalah ingin menyindirnya.

Beruntung tampaknya sindiranku lah yang lebih terasa oleh suamiku, dia tergagap. “A—Abi-”

“Abi apa?? Abi kerja gitu??” ucapku memotong obrolannya. “Selama ini Umi udah nyoba tahan dan mengerti sama Abi, tapi kalau Abi kayak gini Umi juga gak bisa diam” lanjutku mencecarnya.

Suamiku masih terdiam, “Umi kesepian Bi!! Anakmu kesepian juga!! setiap hari Abi berangkat sebelum dia bangun, pulang-pulang setelah dia tidur. Gimana gak kesepian coba????” teriakku dengan lantang.

Mungkin tadi aku memulai obrolan ini dengan sebuah kebohongan karena ingin menutupi perselingkuhanku. Akan tetapi tampaknya obrolan inipun akhirnya dapat ku manfaatkan sebagai sarana meluapkan emosi dan ketidaksukaan terhadap suamiku yang terus-terusan bekerja itu.

“Ma—maafin Abi, Mi!” ucap suamiku memelas.

Aku tertawa kecut, “Dan sekarang?? Abi punya masalah kalau Umi ngobrol sama orang??” tantangku membalikkan tuduhannya tadi menjadi bumerang yang menyerangnya sendiri.

“Maaf Umi. Abi benar-benar tidak tau” balasnya menatap lembut padaku.

Aku kemudian berdiri dari meja makan, “Terserah Abi saja!” ucapku ketus meninggalkannya.

Aku lalu pergi ke dalam kamar dan merebahkan diriku diatas kasur dengan perasaan berkecamuk tak bisa dijelaskan. Marah karena aku sudah mulai hilang kendali dan tidak tahu diri. Sedih karena sudah membohongi suamiku. Dan lega karena berhasil mengungkapkan uneg-uneg yang selama ini aku tahan-tahan.

Tak kusadari tiba-tiba saja air mataku telah melompat keluar membasahi pipiku. Aku kembali merasa jijik dan hina dengan diriku sendiri. Seandainya saja waktu itu aku tidak tergoda nafsu untuk berselingkuh, mungkin saat ini aku tidak akan pernah bertengkar dengan suamiku.

Entah sampai kapan pula akan kutanggung rasa bersalah ini. Tetapi setidaknya aku masih beruntung karena suamiku belum mengetahui kalau istri yang selama ini dikenalnya sebagai seorang perempuan alim itu, sudah merelakan tubuhnya di gauli dan dinikmati oleh pria lain selain dirinya.

Sampai ketika malam menjelangpun, baik aku dan suamiku masih berdiam diri tak saling menyapa satu sama lain. Ini adalah pertengkaran kami untuk pertama kalinya selama masa enam tahun kami menjalani pernikahan. Dan sunggu rasanya sangat tidak mengenakkan dihati dan pikiranku.

“Mi! Udah tidur??” sapa suamiku dari sebelah.



Walau sedang marahan, kami berdua masih tidur diatas ranjang yang sama. “Belum.. kenapa?” tanyaku membalik badan.

“Abi mau minta maaf” Ucap suamiku menggapai tanganku. “Maafin Abi udah nuduh Umi macem-macem. Maafin Abi juga karena udah terlalu sering ninggalin Umi demi kerjaan” lanjutnya setengah berbisik.

“Itu doang??” tanyaku mengangkat alis.

Suamiku terlihat bingung, “Emangnya ada lagi Mi??” tanyanya heran.

“Ada. Minta maaf karena Abi gak pernah bisa muasin Umi di ranjang” balasku dalam hati.

“Kok diem??” tanya suamiku sekali lagi.

Aku menggeleng, “Gapapa Bi! Umi juga minta maaf karena lupa ngasih tau Abi tentang Mang Dedi” ucapku yang lagi-lagi berbohong.

“Engga, Umi gak perlu minta maaf soal itu. Abi tau Umi cuma pengen punya temen ngobrol” jawab suamiku seolah mengerti.

Aku lalu tersenyum, “Jadi gak cemburu lagi nih?” tanyaku menyindirnya.

“Eleehh.. Siapa juga yang cemburu sama tukang sayur..” jawab suamiku berkilah.

“Itu tadi apaan nuduh-nuduh istrinya kalau bukan cemburu?” sindirku lagi.

Suamiku seketika cemberut, “Abis dianya bilang mau bikinin Adek buat Caca. Abi kan cemburu!!” balasnya padaku.

“Itumah Abi aja yang salah paham sama omongan Caca.. Masa’ Mang Dedi mau bikin Umi hamil!! Yang bener aja!!” kataku tiba-tiba berdesir mengucap kata “Hamil” tersebut.

“Iya juga sih. Kagak mungkin juga ya” ucapnya mengangguk-angguk. “Yaudah deh kalau gitu Umi temenan aja sama Mang Dedi” lanjut suamiku bersemangat.

“Loh kok gitu??” tanyaku penasaran.

“Katanya Umi butuh temen ngobrol??” tawar suamiku.

Aku tersenyum meledeknya, “Yakin ga cemburu??” tanyaku sekali lagi.

“Yakin” angguk suamiku dengan cepat. “Lagian kayaknya Mang Dedi orang baik” lanjut suamiku berusaha menilai.

“Ah Masa’?? tadi aja ada yang cemburu banget..” ucapku meledek.

“Iya kayaknya. Lagian dia ga pernah godain Umi jugakan walau udah berduaan di rumah??” tanya suamiku menebak.

Entah setan apa yang datang menghampiriku saat itu, aku malah merasa ingin sedikit menggoda suamiku, “Emang Abi tau??” ucapku mendekat pelan kearahnya.

“Ga tau juga sih” balas suamiku menelan ludah. ”E--emangnya dia godain Umi??” tanya suamiku tergugup saat dengan sengaja kuelus bagian selangkangannya.

“Kalau Umi digodain gimana Bi?? cemburu gak??” tanyaku semakin memancing jawaban dari suamiku.

Mendadak hatiku dipenuhi perasaan aneh yang tak pernah kualami sebelumnya. Suatu perasaan yang sangat sukar untuk kulukiskan dengan kata-kata saat aku tertantang oleh birahi untuk menggoda suamiku dengan cara seperti ini.

“Ya.. Ce—cemburu pasti Mi!” balas suamiku menatapku dengan tatapan tidak percaya.

Aku kemudian tertawa, “Kok tegang begini??” tanyaku menggapai penisnya dari balik celana dan meremasnya pelan.

“Kerjaan Umi kan!” ucap suamiku merenguh memejamkan matanya.

“Umi gak digodain sih. Cuma dibilang cantik aja Bi” ucapku mulai mengurut-urut penis suamiku dari dalam celananya.

Namun suamiku malah semakin melenguh, “Ouughh... Tr—trus apa lagi??” tanya suamiku di sela-sela nafasnya yang semakin memburu.

“Mang Dedi bilang Umi tipe wanita dia banget” jawabku mempercepat kocokan.

Hatiku semakin girang melihat ekspresi suamiku yang tampak keenakan merasapi genggaman dan pijatan tanganku pada batang penisnya. Lambat-laun sentuhanku pada penis suamiku tersebut seakan ikut menjalarkan sensasi-sensasi aneh dalam tubuhku. Bahkan ketika aku dengan sengaja mengucap-ngucap nama Mang Dedi, sensasinya pun menjadi bertambah membuatku menggelinjang tanpa kusadari.

“Oouugghh.. enakk Mi!!” desah suamiku kembali keluar dari mulutnya.

Tak mau kalah dengan tanganku yang memberikan servis pada penisnya, suamiku tiba-tiba menyusupkan tangannya masuk ke dalam celana tidurku.



Aku hanya bisa menggelinjang saat jemari suamiku itu akhirnya menekan tepat pada luaran vaginaku.

“U—umi basah??” tanya suamiku terheran.

Aku kemudian mengangguk mempercepat kocokanku pada penisnya saat tangan suamiku tersebut ikut mengalirkan getaran pada bagian tubuhku yang paling peka. Tanpa bisa kutahan-tahan lagi, cairan vaginaku terasa basah membersit keluar dari dalam lorongnya, meleleh membasah kepermukaan tangan suamiku.

Aku merasa malu sekali. Mengapa bisa seperti ini? Mengapa aku jadi bergejolak hanya karena membayangkan pujian-pujian Mang Dedi sambil menggoda suamiku. Apakah memang aku sudah setergantung ini kepada tukang sayur itu?

“Ohhh.. enakk Masshh!!” balasku mendesah tanpa sengaja membayangkan kalau bukan suamikulah yang sedang meraba tubuhku.

Namun beruntung tampaknya suamiku tak menyadari hal itu karena dia juga tengah fokus merasakan nikmat akibat kocokan tanganku yang semakin cepat pada penisnya.

“Ughhh.. mau keluar Mi!” ucap suamiku tiba-tiba saja melemahkan gerakan tangannya di vaginaku.

Dengan secepat kilat, aku reflek menggantikan tangan suamiku tersebut dengan tanganku kiriku sendiri sambil yang kanannya tetap terus mengocok penis suamiku. Aku bergerak mengikuti instingku sendiri dengan mencolok-colok lubang vaginaku merasakan nikmat itu mulai menemui ujungnya.

Dibarengi dengan erangan suamiku yang tiba-tiba keluar, akupun kemudian merasakan hantaman gelombang kenikmatan yang bersumber dari kelanjar syarafku yang paling peka, gelombang yang sudah aku kenali itupun serasa meledak begitu saja menerjang bendungan pertahanku.

“Ouuughhhh....” lenguhku begitu panjang.

Tubuhku bergetar dan menggelinjang diatas kasur seakan terbang ke awang-awang. Membuat vaginaku ikut berkedut-kedut ribuan kali seperti memancarkan kehangatan di sepanjang lorongnya. Aku merasakan orgasme yang datang kali ini sangat berbeda, karena begitu cepat dan mendadak sehingga aku tak sadar sedang berada di samping suamiku.

“U—umi gapapa??” tanya suamiku tergagap melihatku sedang dilanda puncak birahi.

Dalam sisa kesadaranku pun kemudian aku mengangguk pelan, “Gapapa Bi! Umi cuma keenakan” ucapku menatap langit-langit kamar.

Terbayang wajah Mang Dedi tersenyum menyeringai.



Part 12 : Tak Lagi Malu


Aku tidak tau sejak kapan, yang jelas ini adalah pertama kalinya aku mulai merasakan resah karena tidak bertemu dengan Mang Dedi. Rasanya seperti disesak oleh sesuatu yang abstrak layaknya menanggung sebuah beban berat dalam hati.

Sudah dua hari ini sosok itu menghilang, tak berkabar bak di telan bumi. Setiap hari bahkan membuatku menggerutu dengan kesal sambil berbolak-balik menatap pada layar hp, menunggu balasan chat darinya.

“Apa dia marah karena ku tampar tempo hari??” tanyaku dalam hati.

Perlahan-lahan akupun mulai menjadi munafik, ikut mensugesti diri bahwa inilah waktu yang tepat untuk mengakhiri hubungan terlarang ini. Padahal, hampir setiap putaran waktuku dalam dua hari ini selalu memunculkan nama Mang Dedi dan Mang Dedi.

Bahkan terkadang ada bisikan dalam hati yang menyadarkanku agar tidak berlebihan menenggelamkan diri dalam perasaan terlarang ini. Tapi aku selalu tidak bisa. Atau mungkin, tak mau.

Entahlah, rasanya sekuat apapun aku mencoba menipu diri dan perasaanku, aku seakan menyadari bahwa aku memang akan selalu merindukan sosoknya yang mengundang tawa dan birahi itu.

“TING!!!”

“Maaf Dek Liya. Aku lagi sakit..” Pesan Mang Dedi datang merekahkan senyuman di bibirku.

Tapi kemudian aku malah khawatir mendengar kabarnya, “Mas sakit apa??” tanyaku membalas pesan.

“Cuma panas doang Dek” balasnya lagi.

“Mas sudah makan?? udah berobat??? yang jagain di rumah siapa??” balasku balik penuh dengan pertanyaan.

Namun Mang Dedi hanya menjawabnya singkat, “Di rumah sendirian..” ucapnya membalas.

Tiba-tiba saja, muncul keinginan dalam hatiku untuk bertemu dengan Mang Dedi yang sedang sakit itu. Entah karena merasa khawatir atau mungkin diam-diam karena aku merindukannya, tapi yang pasti hatiku menggebu-gebu membayangkan pertemuan kami di rumahnya tersebut.

Tanpa berpikir panjang, aku kemudian bertanya. “Rumah Mas dimana?? biar aku kesana..” Balasku lagi.

Selang beberapa menit kemudian, Mang Dedipun membalas pesanku dengan membagikan lokasi rumah miliknya. Aku lalu tersenyum dengan singkat, karena ternyata alamat tersebut tidak terlalu jauh dari rumahku dan dapat di tempuh dengan angkutan umum selama kurang lebih 10 menit perjalanan.

“Tunggu aku, aku mau kesana Mas..” ucapku kembali membalas pesannya.

Dengan segera aku kemudian berjalan ke dapur untuk menyiapkan makanan yang ingin ku bawa ke rumah Mang Dedi. Beruntung tadi pagi aku sempat memasak sup ayam yang secara kebetulan juga bagus untuk dimakan dalam keadaan sakit. Sambil juga menyiapkan sedikit makanan kecil seperti tahu dan tempe goreng untuk membantu menambah nutrisi dan mengisi perut Mang Dedi yang pasti tengah kekosongan karena sedang sakit seperti ini.

Dari ruang tamu, suamiku tampak sedikit heran melihatku yang siang-siang berada di dapur tersebut. “Tumben masaknya jam segini” tanya suamiku terheran.

“Iya, Umi mau pergi keluar sebentar gapapa kan Bi??” tanyaku sambil meminta izin dengan cepat.

Suamiku menghampiri dengan heran, “Emangnya Umi mau kemana siang-siang begini???” tanyanya penasaran.

“Mau ke pasarlah Bi!, udah dua hari ini gak ada Mang Dedi jadi Umi gak belanja. Kalau gak masak sekarang nanti keburu capek pulang dari pasarnya..” balasku menjelaskan.

Entah darimana alasan yang tiba-tiba saja terbesit dari dalam kepalaku itu. Namun penjelasanku tersebut cukup meyakinkan sebagai alasan bagi suamiku untuk mengizinkanku pergi. Memang iblis selalu punya cara untuk menggoda dan memberikan kesempatan untuk siapa saja yang ingin berbuat kemaksiatan.

“Mau Abi anter??” tanya suamiku menawarkan bantuan.



Aku lalu menggeleng singkat, “Gausah.. kalau Abi ikut nanti yang jagain Caca siapa??” balasku lagi.

“Tinggal bawa Caca juga beres!” jawab suamiku santai.

Namun tentu saja aku tidak bisa membiarkan mereka ikut karena aku tidak berencana pergi ke pasar, “Kalau Caca ikut, yang ada dia minta jajan terus. Umi jadi repot belanjanya” ucapku beralasan.

“Oh iya ya! Kalau Caca ikut mah bukan Umi yang belanja, tapi Caca..” balas suamiku terkekeh pergi meninggalkanku.

Tanpa perlu berlama-lama kemudian aku akhirnya selesai memasak dan menatanya kedalam kotak makanan yang sudah kusiapkan. Tak lupa pula aku memasukkan kotak makanan tersebut ke dalam totebag belanjaanku agar nantinya suamiku tidak terlalu curiga.

Aku lalu beranjak ke dalam kamar mengganti baju dan merias penampilanku. Layaknya seorang kekasih yang ingin berkunjung ke rumah pacarnya, akupun berniat ingin tampil secantik mungkin untuk bertemu dengan Mang Dedi.

Sengaja ku pakai gamis favoritku yang berwarna merah muda dengan hijab lebar yang sewarna pula. Beberapa aksesoris seperti kalung dan jam tangan pun aku pakai untuk menambah penampilanku. Tak lupa pula aku merias wajah dengan make up yang agak tebal, ditambah pilihan lipstick yang sedikit merah menyala.

“Kesukaan Mas Dedi...” ucapku dalam hati saat ku patut wajahku dari cermin.

Memang dulu saat awal-awal kami berkenalan, Mang Dedi selalu bilang kalau dia ingin melihatku sedikit berdandan dan memakai lipstick merah menyala. Dia memuji kalau aku pasti akan tambah cantik jika rajin merawat diri dan berdandan sehari-hari untuknya. Dan kini, aku berencana mengabulkan keinginannya tersebut.

“Wuidihh.. ini mau ke pasar atau kondangan Mi?? Rapi bener..!!” ledek suamiku saat aku menghampirinya di ruang tamu.

Aku tersenyum dan memutar badanku, “Gimana?? Umi udah cantik belum Bi??” tanyaku meminta pendapatnya.

“Cantik banget Mi!! Cantik gak ada duanya” jawab suamiku mengacungkan kedua jempolnya.

Aku mengulum senyum sedikit tersipu malu di puji suamiku tersebut. Namun yang terbayang kemudian justru wajah Mang Dedi yang pasti akan sangat senang melihat penampilanku sesuai dengan apa yang dia inginkan.

“Yaudah Umi jalan ya Bi!! jangan lupa jagain Caca..” ucapku menyalami suamiku.

Dalam hati ada sedikit perasaan yang bergetar saat aku dengan berani dan kurang ajarnya berpamitan sekaligus bersalaman dengan suamiku sebelum pergi kerumah selingkuhanku sendiri. Aku merasakan diriku sedikit hina melakukan hal seperti ini, namun jantungku tak dapat berbohong kalau akupun sebenarnya menantikan momen untuk bertemu Mang Dedi di rumahnya.

Di perjalanan singkat menuju rumah Mang Dedi tersebut, beberapa kali aku mencoba mengatur nafasku untuk menghilangkan rasa grogi dan cemasku. Baru kali pertama juga untukku bertandang ke rumah orang lain setelah aku pindah ke jakarta. Apalagi yang akan aku datangi justru adalah rumah laki-laki yang bisa dikatakan sebagai selingkuhanku itu. Jadi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berdebar-debar dibuatnya.

Sesuai prediksi sebelumnya, hanya butuh waktu 10 menit perjalanan ke rumah Mang Dedi yang ku tempuh dengan menaiki angkot. Cukup membingungkan juga karena ternyata rumah Mang Dedi berada cukup dalam di pojokan gang sehingga aku harus berjalan dengan kaki.

Dengan arahan dan petunjuk dari Mang Dedi, akhirnya akupun sampai di sebuah kontrakan yang berdiri berjejer tiga buah pintu dan memilik cat oranye. Dipaling ujung sebelah kiri terdapat tanda “Kontrakan Kosong.” Sedangkan yang di tengah-tengahnya nampak memiliki penghuni ditandai dengan sebuah sepeda motor yang parkir di terasnya.



Rumah Mang Dedi sendiri berada di bagian paling kanan kontrakan tersebut, nampak sebuah salib besar berwarna sedikit keemasan bertengger di daun pintunya. Di depan kontrakannya juga di tumbuhi sebuah pohon mangga cukup besar dengan adanya lesehan dari bambu di bawahnya.

“Assalamualai--” reflek salamku terhenti saat aku teringat kalau Mang Dedi bukanlah seorang muslim.

Namun seketika daun pintu rumah itupun terbuka dan menampakkan sosok Mang Dedi hanya memakai celana pendek saja, “Sudah datang kamu Dek!” sapanya tersenyum ke arahku.

“Ihh.. Mas nakal ga pake baju” ucapku pura-pura menutup wajahku dengan tangan.

Mang Dedi nampak sedikit memaksakan senyumnya, “Mari masuk Dek” ucapnya mempersilahkanku. Terlihat wajah Mang Dedi sedikit pucat dan bibirnya memutih karena sedang dalam keadaan sakit.

“Permisiiii!!” ucapku setengah berbisik sambil reflek celingak-celinguk kearah sekitar. Takut ada yang melihat aku sebagai perempuan sedang bertamu ke rumah lelaki bujangan disiang bolong begini.

“Masuk aja! Gak ada orang kok” kata Mang Dedi tersenyum melihatku.

Aku kemudian mengangguk pelan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya sambil kemudian Mang Dedi mengunci pintu. “Kok di kunci??” tanyaku sedikit kaget.

“Biar gak ada yang gangguin kitalah..” jawab Mang Dedi santai memegang tanganku dan menuntun melewati ruang tamu kontrakannya.

Dari belakang aku hanya mengikuti saja langkah Mang Dedi sambil melihat-lihat keadaan sekitar rumahnya. Satu yang membuatku kagum, karena meskipun Mang Dedi hanya hidup seorang diri, rumahnya terlihat sangat terawat begitu bersih dan wangi.

“Maaf gak ada tempat duduk..” Ucap Mang Dedi menarik tanganku duduk diatas kasur springbed tanpa dipan itu.

Kupandangi sekali lagi sekitar kamar tersebut seolah masih terasa asing, “Rapi banget. Mas udah punya istri??” Ucapku bertanya seakan masih tidak percaya.

“Ini istri aku baru dateng..” Ucap Mang Dedi memeluk tubuhku secara tiba-tiba. Badannya terasa hangat dan nafasnya tampak tak begitu beraturan.

Dengan sigap aku kemudian melepaskan pelukannya tersebut. “Jangan macem-macem!! lagi sakit juga!!” ucapku dengan nada ketus lalu berdiri.

“Aku bawa makanan buat Mas.. Mas pasti belum makan kan??” lanjutku mengeluarkan kotak makanan yang sudah aku bawa dari rumah.

“Wahh... dibawain makanan segala. Baik banget istriku” ucap Mang Dedi yang lagi-lagi memanggil aku sebagai istrinya.

Namun entah kenapa aku tidak merasa risih dan memprotes panggilannya tersebut seolah-olah akupun juga suka dipanggil seperti itu olehnya. Lagipula Mang Dedi sedang sakit dan tak punya tenaga, sehingga aku mencoba memaklumi saja perkataannya tersebut.

“Nih dimakan Mas!” ucapku membuka satu-persatu kotak makanan yang ku bawa di dekatnya.

Mang Dedi lalu merengek manja, “Suapin dong Dek!” pintanya membuka mulut.

“Makan sendiri!! udah gede juga” balasku tetap ketus dan gemas dengan gayanya yang lebay itu.

“Tapi kan aku sakit Dek. Kemaren aja aku di tampar dua kali sama kamu” ucapnya mengungkit-ungkit kejadian dua hari yang lalu.

Aku mencubit tangannya pelan, “Salah Mas yang sembarangan aja buang cairan!” kataku ketus.

“Abisnya Mas ga bisa nahan Dek. Mulut kamu enak banget” balasnya terkekeh.

Kukepalkan tanganku di wajahnya, “Ini bogem aku juga enak loh!!” ucapku dengan gemas.

Kami lalu tertawa berbarengan seperti pasangan kekasih yang tengah dimabuk asmara, tak peduli bahwa saat ini aku berada di rumah laki-laki lain sedangkan statusku saja adalah seorang istri, ibu dan perempuan baik-baik.

Tapi yang terpikirkan olehku justru hanyalah rasa senang dan berbunga saat kami berdua larut dalam tawa dan canda itu. Entah apa yang akan terjadi besok, namun kupilih untuk menikmati momen saat ini dengan sepenuh hati.



“Suapin ayo Dek!!” pinta Mang Dedi merengek-rengek.

Aku menggeleng-geleng tidak karuan melihat sikapnya yang seperti anak kecil tersebut, “Dasar ABG tua!” ucapku mengambil sendok dan menyuap nasi.

Terpaksa akhirnya akupun mulai menyuapi Mang Dedi sedikit demi sedikit makanan yang ku bawa dari rumah itu. Sambil ku tahan perasaan senang dan menggebu dalam hatiku karena aku tidak pernah memperlakukan seseorang se spesial ini. Bahkan untuk suamiku sekalipun.

“Mmmm... enak banget masakan kamu sayang!” ucap Mang Dedi pelan mengunyah makanannya.

“Yaiyalah, Uni-uni minang loh ini!!” jawabku berbangga dengan asalku.

Sambil terus mengunyah makanan, Mang Dedi bertanya. “Di padang ada gereja gak sih Dek??” tanyanya penasaran.

“Ada, tapi cuma dikota doang. Kalau di kabupaten aku gak ada. Jangankan gereja, non muslim aja gak ada” ucapku menjelaskan sedikit tentang daerahku.

Memang sampai saat ini di kabupaten tempat aku berasal belum pernah tercatat warga atau pendatang yang menetap beragama lain selain islam. Karena itu aku pun tidak pernah bertemu dengan orang yang berbeda agama sebelumnya.

“Berarti aku yang pertama kamu kenal dong??” tanya Mang Dedi tampak sumringah.

Kuanggukkan kepalaku sedikit mengiyakannya, “Mas yang pertama” ucapku tersenyum.

“Asikk.. yang pertama tuh biasanya berkesan loh Dek” ucapnya dengan nada penuh kesoktahuan.

Aku menyuapkan dia lagi sambil mencibir, “Berkesan apaan? Biasa aja tuh!” jawabku meledeknya.

“Yakin aku kalau kamu bakal inget aku terus” ucap Mang Dedi dengan percaya diri. “Apalagi sama yang gak disunat gini” lanjutnya mengelus selangkangan.

“Mas matanya udah pernah di colok sama sendok belum??” tanyaku mengancam.

Tapi mataku tak dapat menahan untuk tidak melirik ke arah selangkangan Mang Dedi yang tampak membokong seperti tak memakai celana dalam itu. Aku yakin di dalam sana batang penis besar itu tengah menegang.

“Hehehe.. Ampun istriku” ucapnya terkekeh mengangkat kedua tangannya. Lalu kemudian dia tersenyum melanjutkan,“Tapi coba sekali jujur deh Dek. Kamu suka kan sama kontolku ini??” tanyanya sekali lagi.

Entah kenapa jantungku tiba-tiba merasa berdegub sangat kencang diberikan pertanyaan yang kotor tersebut. Tak kusadari bawah alasannya memang karena apa yang dibilang oleh Mang Dedi tersebut adalah benar. Aku menyukai penis besarnya itu, penis perkasa tak di sunat yang mampu membuatku seperti panas dingin hanya dengan melihat siluet dibalik celananya saja.

“Kalau diem berarti bener..” celetuk Mang Dedi dengan senangnya.

Tapi lagi-lagi aku masih mencoba menjaga harga diriku, “Sok tau!” balasku merasakan kalau wajahku ikut memanas akibat kebohongan dan kemunafikanku sendiri.

“Udah buru abisin makanannya!!” sambungku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Kalau marah berarti bener...” ucap Mang Dedi merayuku.

Aku lalu menggeleng menahan senyum, “Enggak marah tuh!! aku seneng begini!” balasku meledeknya.

“Kalau seneng lebih bener lagi Dek..” jawab Mang Dedi seperti tak mau kalah.

Aku kemudian mengambil botol minuman dan memberikannya pada Mang Dedi, “Ah curang!” balasku melongos dari hadapannya.

“Ya berarti kamu emang suka sama kontolku..” sengir Mang Dedi.

“Apaan sih kontal kontol terus!” balasku menutup kotak makanan yang telah habis dilahap Mang Dedi saat kami dengan asyiknya mengobrol.

“Udah kamu ngaku aja Dek..” rayu Mang Dedi terkekeh.

Karena merasa sedikit kesal dengan pertanyaannya, akupun kemudian mengangguk-angguk terpaksa, “Iya-iya.. Suka-suka.. benar-benar” balasku bercanda meledeknya.

“Dih.. kok jawabnya begitu banget??” ucap Mang Dedi tidak terima.

“Ya abis mau gimana lagi??” balasku menjulurkan lidah.

Tiba-tiba saja Mang Dedi meraih pinggangku dan menarik badanku jatuh diatas kasur, “Ngomong gini coba.. Aku suka kontolmu Mas!!” pinta Mang Dedi padaku.



“Ogah!!” teriakku meledeknya.

“Kamu mah begitu. Jahat sama aku” balas Mang Dedi merajuk.

Kusunggingkan senyum membalikkan badan ke arahnya, “Jahat gimana??” tanyaku berpura-pura.

“Iyalah.. aku aja sampai di tampar dua kali” jawabnya kembali mengungkit-ungkit tamparan itu.

“Sebentar lagi tiga kali kalau Mas ngungkit-ngungkit terus” ucapku mengancamnya.

Kami kemudian sama-sama kembali tertawa diatas kasur ini dengan perasaanku yang sudah sangat nyaman dipeluk dan dirangkul oleh Mang Dedi. Seperti biasa, Mang Dedi mencairkan suasana dengan begitu mudah hingga membuatku lupa waktu ketika berlama-lama dengannya.

“Kamu cantik banget hari ini. Lipsticknya merah pula” Puji Mang Dedi padaku.

Sontak hatiku langsung berbunga-bunga dibuatnya karena merasa usahaku berdandan untuk Mang Dedi mendapat pujian yang aku harapkan.

Aku mengulum senyum bahagia, “Buat siapa coba??” ucapku memonyongkan bibir.

“Hehehe. Pengertiannya istriku” balas Mang Dedi terkekeh memanggil aku sebagai istrinya lagi.

Tapi kemudian aku pun masih saja tidak keberatan dan malah semakin senang ketika mendengarnya memanggilku dengan sebuatan “Istri”-nya tersebut. Entah mungkin ada yang salah dalam diriku saat seharusnya aku marah mendengar sebutan itu, namun aku memilih untuk membiarkan telingaku manja oleh kata itu.

“Boleh aku cium gak nih??” lanjut Mang Dedi bertanya padaku.

Kuanggukkan kepala dengan pelan, “Boleh” ucapku singkat dan tersenyum.

Seketika Mang Dedi mendekatkan mukanya ke arah wajahku dan mengecup pelan bibirku, “Manis” ucapnya berkomentar sebentar.

Lalu bibir Mang Dedi memaut bibirku kembali namun dalam tempo yang cukup lama. Bibir kami hanya menempel hangat, tak ada pagutan tak ada gerakan. Hanya saling bertukar nafas yang sudah mulai tidak beraturan karena sudah didatangi birahi dan syahwat.

Dengan lembut, Mang Dedi meraihku ke dalam pelukannya. Lama dibiarkannya tubuhku dan tubuhnya bersatu sambil ciuman kami mulai sedikit bergerak saling menaut dan mengejar bibir masing-masing.

Dengusan nafas Mang Dedi terdengar memburu didaun telingaku, entah karena dia sedang sakit atau sedang bernafsu. Akan tetapi dapat kurasakan ciumannya pada bibirku mulai agresif. Kecupan-kecupan ringannya sudah mulai menjadi pagutan dan lumayan yang seolah menghisap bibirku masuk ke dalam bibirnya.

“Oohh.. Masshh..” ucapku mulai mengeluarkan desahan lirih.

Mang Dedi kembali mencoba menciumku. Kali ini lebih rekat dengan dekapannya yang sangat erat tak mau melepas. Akupun juga tak mau menghindar, tempatku bergerak hanya bila aku membalas menyosor ciumanya itu.

Tangannya menempel di bagian tengkukku yang masih terbalut hijab, bibir kami bertemu, sementara lidah kami saling mengisi rongga kosong yang ada di mulut masing-masing.

Perlakuan Mang Dedi itu semakin membuatku lemas terbuai kenikmatan. Selama beberapa menit lamanya kami bercumbu dengan penuh gairah, lidah kami saling belit dan saling jilat, air liur kami saling bertukar dan nafas kami bersahut-sahutan.

“Eeemmm...mmmhh....ssllkk...ssssllrrp!” suara desahan tertahan terdengar dari mulutku saat berpagutan dengannya.

Selama ciumannya itu pula, tangan Mang Dedi tidak pernah diam menjelajahi tubuhku, tangan kirinya yang terhimpit oleh kepalaku masih dapat mengelus bagian leher, sedang tangan kanannya berada di bagian belakang dan meremasi bongkahan pantatku dengan gemasnya.

Perasaan aneh yang nikmat mulai terasa seiring dengan remasan-remasan Mang Dedi pada pantatku tersebut. Aku mencoba menggeliat menggerakkan diriku tapi benar-benar tidak mampu karena dekapan Mang Dedi begitu kuat mengunci tubuhku.

"Dek Liya.. aku sayang sama kamu.. aku cinta sama kamu" Ucap Mang Dedi berkata lirih menatap mataku dalam.



Aku tersipu malu karena ungkapan cintanya yang bertubi-tubi itu., "Sayangi aku semaumu Mas..." ucapku mengelus pipinya yang terasa hangat.

"Tapi untuk sekarang saja ya?! Di rumah sudah ada suamiku yang menunggu.." Lanjutku tersenyum mengingatkannya kalau aku adalah istri dari orang lain.

Namun Mang Dedi justru mengendurkan pelukannya, "Aku mau kamu seutuhnya Dek Liya" Ucapnya tiba-tiba serius.

"Ga bisa Mas! Aku masih mencintai suamiku.." jawabku tak kalah serius padanya.

"Kalau begitu kasih aku perhatian yang sama!" Pinta Mang Dedi cemberut menuntutku.

Tiba-tiba hatiku bimbang merasa bingung dan kasihan. Entah bagaimana caranya aku memberikan perlakuan yang sama kepada Mang Dedi sedangkan dia hanyalah selingkuhanku.

Tak mungkin aku akan memperlakukannya sama dengan caraku memperlakukan dan melayani suamiku sendiri. Namun melihat dia seakan cemburu dengan suamiku tersebut, tak pelak membuat hatiku luluh dan sadar bahwa dia memang benar-benar telah jatuh hati padaku.

"Aku akan kasih Mas sesuatu, belum pernah aku kasih sama siapapun termasuk suamiku sendiri" ucapku tiba-tiba teringat dengan tontonan di youtube yang pernah kulihat tempo hari.

Mang Dedi tersenyum merekah mendengarnya, "Wah.. sesuatu apaan tuh?" Ucapnya bertanya nanar penuh dengan rasa penasaran.

Aku lalu tersenyum menggodanya sambil kemudian bangkit dari kasur untuk menjangkau smartphone yang berada di dalam tas yang kubawa. Dengan secepat kilat aku mungusap layarnya untuk mencari pemutar musik yang sebelumnya sudah ku isi dengan beberapa lagu dangdut tersebut.

"Mas tunggu aja!" Ucapku merasa sangat nakal membayangkan apa yang akan kulakukan di depannya.

Begitu suara musik mulai terdengar, aku kemudian menjauhkan badanku dari hadapan Mang Dedi dan mulai menggerakkan sedikit pinggulku untuk berjoget mengikuti alunan ritme musik dangdut yang aku putar.

"Wow.." kata Mang Dedi menganga melihatku meliukkan badan di depan matanya.

Sebenarnya cara ini tak sengaja kulihat di youtube sebagai referensi dalam memuaskan suami di ranjang. Dan akupun sudah beberapa kali melatih diri agar gerakanku tidak terlalu kaku saat aku mempersembahkannya pada suamiku nanti.

Namun pada akhirnya, ternyata bukan kepada suamikulah aku mempersembahkannya. Melainkan kepada tukang sayur yang juga berstatus sebagai selingkuhanku.

"Suka gak?" Tanyaku penasaran masih bergoyang pelan di hadapan Mang Dedi.

Mang Dedi mengangguk girang menandakan kalau dia benar-benar menyukainya. Sedangkan aku merasa gemetar menahan malu merasakan detak jantungku berdebar dengan kencang melakukan goyangan-goyang erotis.

"Kamu sudah gila Liya!" Batinku berteriak menolak segala perbuatanku ini.

Rasanya begitu tabu dan penuh pelecehan, Aku yang harusnya menjadi perempuan yang menjaga iman agama itu justru malah berubah bak seorang biduan dangdut yang mengundang hasrat birahi. Aku yang harusnya menjadi seorang istri yang baik itu, justru malah menari-nari di depan lelaki lain selain suamiku sendiri.

Namun anehnya mukaku malah terasa semakin memanas dan seluruh bulu kudukku seketika merinding, tanda kegembiraan dan gairah seksualku yang sudah mulai meninggi. Ditambah lagi dengan perasaan hina pada tubuhku yang seolah bangga dan tak mau berhenti di tatap nanar oleh mata Mang Dedi.

Merasa nafsuku yang sudah berada di ubun-ubun, sedikit demi sedikit aku mulai menghilangkan rasa malu dan sungkan yang ada di dalam diriku. Sedikit demi sedikit, aku mulai memberanikan diri menampakkan lekuk tubuhku yang sedari tadi tersembunyi di balik gamis dan hijab yang ku pakai.

"Seksinya kamu Dek Liya" komentar Mang Dedi masih terpana mengelus penis yang masih tersembunyi dibalik celana pendeknya.



Aku kemudian semakin bersemangat melihat reaksi serta mendengar pujian Mang Dedi itu.

Dengan kedua tangan, aku tangkap bongkahan daging payudaraku dan memijit mereka bersama-sama dari balik gamis yang masih menutupi badanku. Di dalamnya, Puttingku ikut mengeras seolah tak mau ketinggalan merasakan sensasi seperti ingin dipertontonkan juga.

"Ougghh.. Mashh..Akuu nakall.." bisikku lirih sambil terus memainkan payudaraku diiringi muskin dangdut yang semakin menambah panasnya suasana.

Kulirik sejenak Mang Dedi yang bersandar pasrah di atas kasur sambil jakunnya naik turun menelan ludah, dengankan tangan kanannya tidak henti-henti mengelus dan meremas batang kejantanannya yang sudah semakin terlihat menonjol.

"Iyahh.. emang nakal kamu Dek.. kamu benar-benar binal.." Ucap Mang Dedi dengan kotornya.

Akan tetapi kata-kata itu justru malah membuatku semakin bernafsu dan liar. Melakukan adegan menggairahkan seperti ini saja sudah membuat aku merasa tubuhku menjadi begitu panas dan keringatku mengucur dengan derasnya. Apalagi di tambah dengan komentar-komentar lucah Mang Dedi itu.

"Lihat pantatku juga Mass.." ucapku lalu membalikkan tubuhku. Masih sambil bergoyang-goyang membelakangi Mang Dedi.

Entah darimana aku mendapat ide untuk melontarkan kalimat-kalimat mesum nan mengundang itu. Tapi yang jelas, aku semakin terangsang dan bersemangat ketika mengucapkannya di depan Mang Dedi.

Saat ini pula, aku sangat yakin kalau Mang Dedi menginginkan tubuhku untuk direngkuhnya segera. Dan akupun juga sangat menginginkan itu darinya. Namun persembahan ini baru saja dimulai, karena selanjutnya aku membuka perlahan resleting gamisku dan menurunkannya dengan gerakan yang begitu pelan.

Untuk pertama kalinya, aku dapat melihat dengan jelas arah mata Mang Dedi yang mengikuti gerakanku tengah melucuti diri dari gamis yang aku pakai. Aku merasa jika dadaku seolah mau meledak karena perasaan senang, bangga, bingung, malu, dan semua emosi lain yang bercampur menjadi satu.

Seharusnya, seorang wanita alim tak pantas berbuat seperti ini. Seorang istri sholehah juga tak sepatutnya memamerkan tubuh miliknya kepada orang lain selain suami.

Namun disinilah aku sekarang, bertelanjang diri hanya memakai dalaman di depan laki-laki lain dan merasa tersanjung karena tatapan nakalnya.

"Ayo tunjukan kenakalanmu Dek Liya" pinta Mang Dedi menyemangatiku. “Aku tau kalau sebenarnya kamu adalah wanita nakal" seringainya melanjutkan.

Malu tapi mau, sungkan tapi pengen, hina tapi bernafsu. Itulah perasaan yang aku alami ketika mendengar kalimat dan perkataan Mang Dedi padaku.

Dan masa bodoh dengan semua itu karena aku sudah sangat terangsang. Sudah tak peduli dengan image seorang perempuan alim dan istri setia. Yang jelas, saat ini aku ingin segera digumuli oleh Mang Dedi untuk mengarungi kenikmatan birahi bersama-sama sampai ke tepian samudera syahwat yang memberikan kenikmatan duniawi yang luar biasa.

"Mashh.. aku sangeee..." Ucapku merengek menahan gesekan birahi makin menyambangi badanku yang terbuka di depan mata Mang Dedi.

Masih dalam balutan lagu dangdut yang berdurasi panjang itu, aku terus melucuti diri dengan gaya yang lambat penuh godaan. Sengaja kubuat ekspresi sebinal mungkin sambil menjulurkan lidah dan menggigit bibir bawahku saat aku bergoyang meliuk-liuk.

Kali ini giliran penutup dadaku yang meluncur jatuh dengan cepat. Membuka dan mempertontonkan bongkahan daging payudara kecilku yang ikut-ikutan terbebas, melompat dengan indahnya dari sana.

Mendadak, aku merasa hembusan angin yang ada dikamar tidur Mang Dedi itu begitu dingin membangkitkan bulu kudukku dan membuat puting payudaraku mencuat, dan yang pasti vaginaku makin terasa basah.

"Cantik sekali kamu Dek Liya.." ucap Mang Dedi masih mengomentariku. “Ayo sini Dek.. sudah gak sabar aku pengen ngentotin kamu..” pinta Mang Dedi sambil melambaikan tangannya kearahku.



Namun aku menggeleng pelan dan manja, "Belum saatnya Mas" Ucapku semakin menggodanya.

Kutangkap bongkahan daging pipi pantatku dan mulai kuremas gemas di depan matanya. Kugoyangkan pinggulku dengan sangat genit sembari terus meliuk dan bergoyang erotis.

"ASTAGA..." batinku berteriak.

Melakukan gerakan-gerakan erotis secara langsung di hadapan laki-laki lain seperti ini seolah memberikan sensasi birahi yang sangat menggebu. Rasanya begitu indah, begitu menantang, dan begitu menggairahkan.

Akupun sebenarnya tahu, jika apa yang sedang kulakukan saat ini adalah sebuah perbuatan dosa, sebuah dosa yang akan membawa kenikmatan bagi diriku, dan Mang Dedi selingkuhanku. Tapi birahiku sendiri sudah menghipnotis alam bawah sadarku untuk tetap bergerak memberikan tontonan-tontonan erotis pada Mang Dedi.

"Jangan dibuka hijabnya sayang" tahan Mang Dedi saat aku akan bergerak membuka hijabku.

"Kamu lebih cantik pakai hijab seperti itu.. lebih seksi.. lebih menggairahkan.." lanjutnya mendengus-dengus meremas penisnya sendiri.

Aku tidak mengerti kenapa Mang Dedi tetap memintaku memakai hijab lebar ini. Bukankah rasanya lebih seksi kalau aku bertelanjang bulat di hadapannya tanpa tertutupi sehelai benangpun?

Namun karena ini adalah persembahan untuk Mang Dedi, jadi aku akan memenuhi permintaannya tersebut tanpa berpikir lebih panjang.

Dari yang tadinya aku ingin membuka hijabku, kini aku malah beralih meraih kedua pinggiran celana dalamku yang berada di pinggang.

"Yang ini dibuka gak Mas??" Tanya tersenyum nakal menggodanya.

Mang Dedi tercekat sebentar menelan ludah, "Oh pastinya dong sayang" jawabnya penuh kegirangan.

Perlahan-lahan kemudian akupun menggoyangkan badanku ke kiri dan ke kanan sambil sedikit demi sedikit kuturunkan balutan celana dalamku dari bagian selangkangan.

"Oughhhh..." aku bergetar. Merasakan semilir angin menyapu bagian vagina dan pantatku yang mulai terbuka di hadapan Mang Dedi sambil menengadahkan kepala dan memejamkan mata menahan nikmat.

Seketika aku sudah bertelanjang di hadapan Mang Dedi. Telanjang di depan mata lelaki lain selain suamiku. Dan telanjang di hadapan pria yang sebentar lagi akan menikmati tubuhku ini.

Tiba-tiba aku merasa tertantang. Ingin menunjukkan organ terpenting dari tubuh wanitaku itu kepada Mang Dedi. Ingin menunjukkan celah kenikmatanku yang berkedut membasah karena menantikan sodokan dan tusukan penis besarnya di vaginaku, lalu menumpahkan sperma panasnya di dalam rahimku.

"Ngangkang dong Dek.." perintah Mang Dedi memiringkan kepalanya.

Seolah mendapat hipnotis, entah kenapa aku kemudian menarik lebar-lebar kedua kakiku untuk mengangkang begitu lebar sambil berdiri di hadapan Mang Dedi.

“Woooww... becekkk...” komentarnya sekali lagi.

Aku mengangguk pasrah, “I--iya Massh…. Sudah becekkhh….” ucapku menahan diri sangat malu.

Sengaja tak kuliah wajah Mang Dedi yang tengah memperhatikan selangkanganku yang ternyata sudah melelehkan cairan begitu banyak sampai terasa hangat di pahaku.

“Kamu benar-benar wanita nakal Dek Liya. Gak cocok sama hijabmu itu.” Ucap Mang Dedi tersenyum melecehkanku.

"Taa--tapi Mas suka kan?? Ouugghhh.." balasku melenguh mempertahankan posisiku yang mengangkang sambil berdiri itu.

Mang Dedi tertawa sedikit, "Suka banget sayang. Ayo lanjutin lagi jogetnya" sambungnya kembali bersandar di pinggiran kasur.

Mendapat perintah dari Mang Dedi, aku kembali berusaha menggoda Mang Dedi sambil terus menggoyang-goyangkan pinggulku. Namun sekarang dengan objektif yang berbeda karena aku merasakan gatal di beberapa bagian sensitifku.

Sekarang rasanya bukan lagi untuk memuaskan Mang Dedi dengan persembahan erotisku, namun justru untuk memuaskan hasratku sendiri yang sudah berada di ubun-ubun.

Aku meremas payudara dan pantatku beberapa kali seperti seorang pelacur yang sedang memberikan undangan gratis kepada lelaki lain untuk dapat menidurinya.

“Entotin aku Masshh... entotin akuuhhhh....” ucapku membatin dalam hati sembari terus bergoyang erotis.

Aku seperti cacing yang kepanasan. Sekarang, karena nafsuku sudah tak tertahankan lagi, aku menjadi buta akan rasa malu ataupun sungkan. Sekarang, aku berani untuk bermain-main dengan puting payudaraku, aku berani untuk meremas pantatku, dan aku berani untuk mengobel liang vaginaku sendiri di hadapan Mang Dedi.

“Oooggghh... ooouugghhhh... sshhhh....” desahku pelan sambil menggelinjang-gelinjang keenakan.

Kutusuk vagina basahku dengan jemari-jemari tanganku sambil sesekali ku gosok bagian bibirnya. Dibagian dada, kupilin-pilin puting payudaraku berulang-ulang. Semakin lama semakin enak, enak dan enak.

Tapi kemudian aku tersadar, kulihat Mang Dedi bengong tidak percaya melihatku memainkan diri sendiri di depannya. Sungguh akupun ikut merasa malu karena aku sampai-sampai terbawa suasana oleh sentuhan-sentuhan ku sendiri.

"Memang binal kamu Dek.." Ucap Mang Dedi menggeleng-geleng.



Klik Nomor untuk lanjutannya

Related Posts